Ibadah Ritual dan Perilaku Sosial

Editor

Suseno TNR

REUTERS/Cheryl Ravelo
REUTERS/Cheryl Ravelo

TEMPO.CO - Hadis sahih riwayat An-Nasai, Baihaqi, Ibnu Huzaimah, dan Thabrani, dari Abi Ubaidah RA: "Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, 'Puasa adalah perisai selama yang bersangkutan tidak merusak'. Lalu ada pertanyaan, 'Dengan apa merusaknya?' Jawab Rasulullah: 'Dengan berbohong atau bergunjing'."

Kejujuran adalah bagian utama dari ketakwaan kita. Kita pun menjalani puasa kita dengan penuh kejujuran. Rasanya tidak ada orang yang memulai harinya dengan makan sahur, lalu di luar rumah dia makan/minum dengan sembunyi-sembunyi.

Penelitian Riaz Hassan dari Flinders University, Australia, pada 2005 mengungkap bahwa muslim Indonesia mempunyai kesalehan ritual tinggi. Ia menemukan fakta bahwa 96 persen umat Islam di Indonesia menjalankan salat lima waktu, Mesir 90 persen, Pakistan 56 persen, dan Kazakhstan 5 persen. Umat Islam yang berpuasa di Mesir dan Indonesia mencapai 99 persen, Pakistan 93 persen, dan Kazakhstan 19 persen. Sebanyak 94 persen muslim Indonesia membayar zakat, Mesir 87 persen, Pakistan 58 persen, dan Kazakhstan 49 persen.

Hasil penelitian di atas benar adanya. Tapi fakta positif di atas tampaknya tidak sejalan dengan perilaku sosial umat Islam di Indonesia. Banyak pemeluk Islam di Indonesia tidak mengaitkan ibadah ritual (salat, puasa, haji) dengan perilaku sosial secara luas. Puasa lebih dilihat sebagai kewajiban yang harus dijalankan tanpa melihat bagaimana mutu puasa itu. Padahal Rasulullah SAW sudah memperingatkan bahwa banyak orang berpuasa hanya mendapatkan haus dan lelah.

Penyalahgunaan kekuasaan sudah menjadi kebiasaan di mana-mana, apa pun jabatan kita. Pejabat pemerintah (sipil, militer, polri) sudah sejak dulu menyalahgunakan kekuasaan. Anggota DPR/DPRD kini mengikuti jejak yang salah arah tersebut. Pejabat pengadilan dan pengacara juga sudah ketularan virus tersebut.

Puasa mendidik kita mengendalikan hawa nafsu. Cukup banyak yang berhasil. Mengapa pengendalian diri itu hanya bertahan dalam sebulan? Mengapa bisa terjadi seperti itu?

Apakah dalam perenungan di malam hari pada bulan Ramadan kita berani dan mampu mawas diri dengan teliti sehingga menyadari dosa sosial dan dosa profesional yang telah kita lakukan dan bersungguh-sungguh untuk bertobat dan tidak mengulanginya? Semoga pada Ramadan ini Allah bermurah hati menyadarkan diri kita sehingga kita mampu menelisik dosa-dosa kita.

*)Salahuddin Wahid, PENGASUH PESANTREN TEBUIRENG JOMBANG
(Tulisan ini pernah dimuat Koran Tempo edisi 19 Jul 2013)