Sambut Ramadan, Cirebon Gelar Tradisi Dlugdag  

Keraton Kasepuhan ini dibangun oleh Panembahan Pakungwati I tahun 1529 di Cirebon, Jawa Barat, (26/1). Keraton kerajaan Islam ini merupakan perluasan dari Keraton Pakungwati yang dibangun oleh Pangeran Cakrabuana. TEMPO/Prima Mulia
Keraton Kasepuhan ini dibangun oleh Panembahan Pakungwati I tahun 1529 di Cirebon, Jawa Barat, (26/1). Keraton kerajaan Islam ini merupakan perluasan dari Keraton Pakungwati yang dibangun oleh Pangeran Cakrabuana. TEMPO/Prima Mulia

TEMPO.CO, Cirebon - Menyambut Ramadan, Keraton Kasepuhan, Cirebon, menggelar tradisi dlugdag. Tradisi untuk menandai datangnya Ramadan ini ditandai dengan pemukulan bedug seusai salat asar berjamaah pada Ahad, 5 Juni 2016.

Sultan Sepuh XIV PRA Arief Natadingrat memulai memukul bedug berusia sekitar 400 tahun yang ada di langgar agung tersebut. Pemukulan bedug dimulai dengan suara rendah, tengah, hingga akhirnya tinggi. Dengan khidmat, sultan itu menabuh bedug.

Berturut-turut, pemukulan bedug pun dilakukan oleh penghulu keraton dan sejumlah abdi dalem. Nada pukulannya sama, dari suara rendah hingga suara tinggi.

Arief menjelaskan, pemukulan bedug dengan nada rendah diteruskan dengan nada tinggi menandakan siklus kehidupan manusia. "Mulai dari bayi yang baru lahir, balita, remaja, dewasa hingga akhirnya kembali ke Sang Pencipta," tutur Arief.

Tradisi dlugdag pun menandakan telah berakhirnya Syaban, dilanjutkan dimulainya Ramadan. "Nanti malam kita sudah mulai melakukan salat tarawih, “ kata Arief.

Pemukulan bedug, Arief melanjutkanb, tidak hanya dilakukan saat bulan puasa mulai, tapi saat berbuka dan kapan pun. Sebab, dulu, belum ada pengeras suara seperti saat ini. " Bedug memiliki fungsi yang penting pada zaman Sunan," ucap Arief.

Pada Ramadan, Arief berharap, umat Islam menjalankan ibadahnya dengan baik. "Jangan lewatkan bulan penuh keberkahan ini. Jangan berlalu begitu saja," kata Arief.

IVANSYAH