Puasa Masyarakat Konsumer

Editor

Suseno TNR

Ilustrasi berbuka puasa. AP/Gero Breloer
Ilustrasi berbuka puasa. AP/Gero Breloer

TEMPO.CO - Bulan Ramadan adalah bulan menahan diri dari segala dorongan hasrat, termasuk hasrat konsumsi. Melalui puasa, kita “melawan” kekuatan hasrat untuk mengejar kesenangan dan hedonisme, demi membangun empati dan solidaritas sosial. Puasa mengajarkan kepada kita untuk mengekang kepuasan individual, demi merasakan derita sosial dan rasa kebersamaan.

Puasa adalah restrukturisasi konsumsi, di mana kuantitas, irama, dan waktu konsumsi tak lagi sepenuhnya di bawah kendali mesin hasrat, tetapi mengikuti garis dan kehendak Tuhan. Puasa adalah pendisiplinan hasrat konsumsi, agar sesuai dengan aturan, rukun dan syarat yang telah digariskan agama.

Ironisnya, bulan puasa di era globalisasi justru adalah “bulan konsumsi”, di mana intensitas, kuantitas dan kualitas konsumsi meningkat: cara belanja lebih kompleks, tema belanja lebih bervariasi, dan citra produk lebih terdiferensiasi. Ramadan adalah bulan beli baju, sepatu, telepon seluler, dan mobil baru; beli kue, minuman, kado dan parcel bergaya; renovasi rumah, kantor, dan tempat hiburan.

Dalam suasana menahan diri, ajakan konsumsi justru kian kencang. Iklan-iklan televisi mengajak untuk tetap memacu konsumsi meskipun puasa; sinetron memberi contoh tren gaya dan gaya hidup puasa, mal-mal menggelar diskon, sale, bonus dan voucher untuk mendongkrak hasrat belanja; tempat wisata menawarkan program baru, seperti berbuka plus berenang. Puasa kini menjadi elemen penting “budaya konsumerisme”, di mana konsumsi dimuati tanda-tanda kelas, prestise dan status. Belanja bulan puasa kini mengikuti logika komoditi (logic of commodity), di mana konsumsi menjadi bagian konstruksi tanda dalam masyarakat konsumer. Pesona, daya tarik dan fetisisme menjadi “jurus” ampuh memacu konsumsi.

Puasa menjadi bagian masyarakat konsumer (consumer society), di mana perang identitas di antara kelas-kelas sosial diperlihatkan melalui citra barang konsumsi. Aktivitas konsumsi, yang sebelumnya berkaitan dengan dorongan kebutuhan (need), kini dikendalikan oleh dorongan “keinginan” (want), yang tak pernah terpuaskan.

Menahan godaan puasa dalam masyarakat konsumer menuntut kekuatan ekstra, karena di dalamnya sistem seduksi dan komunikasi kapitalistik secara intensif membujuk kita untuk memacu konsumsi. Kita digoda untuk membeli barang dan jasa yang tak diperlukan; dirayu untuk “membeli” tanda, citra dan ilusi-ilusi untuk melawan ujian puasa: serta kebugaran, kesegaran, kecantikan, dan kejantanan.

Puasa kini dijadikan raison d’etre untuk mengintensifkan konsumsi dan belanja. Kondisi fisik yang lemas, capek, lapar, tidak fit, tidak segar yang justru merupakan ujian sesungguhnya puasa—kini dicarikan solusinya melalui aneka bentuk makanan, minuman, peralatan fitness, suplemen, dan obat-obatan, yang dianggap dapat mengatasi ujian itu.

Menerima ilusi-ilusi itu sebagai bagian ibadah puasa menggiring pada “diri yang terbelah” (divided self) atau “skizofrenia” secara kultural, yaitu diri yang tak mampu membedakan—dan akhirnya menerima—nilai-nilai bertentangan: mencampuraduk jalan kesucian dengan ilusi, menahan diri dengan pencitraan diri, jalan kezuhudan dan keduniaan.

Ujian puasa yang sesungguhnya bukan di siang hari pada waktu menahan lapar dan godaan hasrat, tapi pada waktu niat berbuka dan sahur: apakah kita tulus menerima kondisi lapar, lemas, dan tidak fit sebagai sebuah ujian sejati, atau berusaha “merekayasa” agar segala ujian itu dapat diatasi, sehingga puasa terasa lebih “nyaman”.

*) Yasraf Amir Piliang, ahli filsafat media
Tulisan ini pernah dimuat Koran Tempo Edisi 26 Juli 2012.