Keripik Tempe di Masa Krisis Kedelai dan Lebaran

Keripik tempe. TEMPO/Ishomuddin
Keripik tempe. TEMPO/Ishomuddin

TEMPO.CO , Malang: Perajin keripik tempe di Kota Malang kewalahan melayani pesanan menjelang lebaran. Karena kekurangan pekerja yang terampil memproduksi kudapan berbahan dasar kedelai ini. Apalagi, produksi keripik tempe masih dikerjakan secara manual.

"Penggorengan masih manual tak bisa diganti mesin," kata perajin keripik tempe, Suprayitno, Ahad, 5 Agustus 2012.

Sedangkan tenaga kerja terampil yang memproduksi keripik tempe terbatas. Maksimal, perajin hanya mampu menambah produksi sekitar 20 persen. Perajin yang memproduksi keripik tempe 17 tahun lalu ini mempekerjakan sebanyak 15 pekerja. Waktu kerjanya ditambah hingga lembur kerja. Produksi rata-rata sehari 100 kilogram.

Harga keripik tempe melonjak menjadi Rp 25 ribu per kilogram, dari harga semula Rp 23 ribu. Harga keripik naik karena bahan dasar kedelai naik tak terkendali. Selain itu, harga minyak goreng dan tepung ikut terkerek naik. Keripik tempe yang diproduksi dipasarkan di Surabaya, Denpasar, dan Bogor.

Ketua Primer Koperasi Tempe Bangkit Usaha, Chairul Anwar menjelaskan akibat kenaikan harga kedelai, 60 perajin tempe terancam gulung tikar. Sentra tempe di jalan Sanan Kelurahan Purwantoro bermodal pas-pasan tak bisa produksi hingga terlilit utang. "Omzet penjualan kedelai turun hingga lima ton per hari," katanya.

Rata-rata kebutuhan kedelai di Sanan mencapai 15 ton. Perajin keripik tempe tak mampu menjangkau harga kedelai yang terus melonjak tak terkendali. Harga kedelai di Malang mencapai Rp 8 ribu per kilogram.

EKO WIDIANTO