Puisi Rumi dan Kapal Tampomas

www.greenspirit.org.uk
www.greenspirit.org.uk

RumiTEMPO Interaktif, Jakarta -  Kala itu, seorang pengembara tiba di suatu desa terpencil di pinggiran gurun pasir. Melihat keadaan desa yang tak asing, ia teringat pada seorang sahabat, yang dua dasawarsa tidak bertemu dengannya.  Ia begitu rindu.

Segera pengembara itu mengayunkan kaki menuju rumah sahabatnya. Sampai di depan rumah ia langsung mengetuk pintu. "Siapa kamu?," tanya si pemilik rumah. "Ini aku," jawab si pengembara.

Tanpa diduga, dari dalam, si pemilik rumah berkata. "Kamu tidak boleh masuk. Tidak ada tempat bagimu karena kepalsuan belum meninggalkan dirimu. Kepalsuanmu harus dibakar habis di dalam api."

Mendengar hal itu, si pengembara pun meninggalkan rumah sahabatnya. Perasaannya masygul. Selama setahun ia berkelana tanpa tujuan. Dalam hati dan perkataan si pengembara selalu menyebut nama sahabatnya. Ia memutuskan kembali lagi ke desa terpencil itu.

Dengan hati-hati dan penuh rasa takut, Ia mengetuk pintu rumah. "Siapa yang mengetuk pintu?," kata sahabatnya dari dalam rumah. Si pengembara langsung menjawab serasa memohon, "Oo..., kekasihku, ini adalah kamu yang ada di depan pintu." Tanpa harus menunggu, dari dalam terdengar suara lagi. "Karena ini adalah aku, masuklah! Di dalam rumah ini tidak ada tempat untuk dua Aku," kata pemilik rumah selembut madu.

Kisah yang disadur dari puisi Jalaluddin Rumi, sufi besar itu dinukilkan Basuki Santoso Hardjosoekamto guna mengibaratkan lika-liku kehidupan manusia di dunia dalam mengejar kepuasan nafsu.

Dunia, menurut Presiden Direktur PT MC Dermott Indonesia ini, seakan kekal di mata manusia. "Seolah kita terus memburu kesenangan duniawi dan tenggelam di dalamnya," kata dia dalam diskusi yang bertajuk Ramadan Bersama Rumi di Darmawangsa Square Jakarta, kemarin.

Manusia, ujar pria 60 tahun ini, condong jadi lupa pada jati dirinya. Manusia terkadang lebih memusatkan perhatian pada dunia. Sampai-sampai melanggar hak orang lain dan tata nilai masyarakat, tak mereka dirasakan. "Orang-orang seperti ini sebenarnya bermimpi walaupun lahirnya terjaga."

Manusia baru tersadar ketika telah menuai bencana akibat perbuatan sendiri. "Misalkan orang yang korupsi. Ia baru terjaga ketika menuai akibatnya: ditangkap dan dipenjara," ujar Basuki, alumnus Institut Teknologi Bandung yang gemar membaca buku tokoh sufi ini. Bencana atau musibah, menurut Basuki, bisa menjadi pemicu mengembalikan manusia pada jalan kebenaran.

Pandangan senada diungkapkan salah satu guru besar Universitas Islam Negeri Jakarta, Kautsar Azhari Noor. Ia menceritakan pengalaman sahabatnya yang selamat dari kecelakaan kapal Tampomas yang tenggelam pada 1980-an. "Ia melihat semua penumpang berdoa dan memuja Tuhan," kata ahli tasawuf itu.

Setiap manusia, menurut dia, memiliki kesadaran sebagai bayang-bayang Tuhan meskipun redup bak cahaya kunang. "Itulah manusia. Ia akan kembali ke Tuhan jika dibangunkan dengan musibah," ungkap Kautsar filosofis.

MUSTHOLIH