Cerita Masjid Hilang di Pesisir Gebang  

masjid
masjid

TEMPO Interaktif, Jakarta - Pada suatu malam, tepatnya pada 1999, seorang warga Indonesia keturunan Hadramaut, Hasan bin Ali, dalam mimpinya didatangi Abu 'Alamah, seorang ulama yang pernah mengembara ke tanah Jawa pada abad ke-19.

Dalam mimpi, Abu 'Alamah mengingatkan agar Hasan bin Ali jangan melupakan satu masjid yang dibangun di sebuah pesisir pantai Cirebon. "Tolong perhatikan masjid itu, jangan sampai masyarakat melupakannya."

Semasa tinggal di Jawa, Abu 'Alamah memang pernah mendirikan sebuah masjid yang menghadap ke Samudera Hindia, di pesisir Gebang tak jauh dari Pelabuhan Cirebon. Setelah kembali ke Hadramaut, ia membangun masjid kembali di pesisir Mukalla, yang juga menghadap ke laut.

Kedua masjid Abu 'Alamah dinamai raudah (taman). "Beliau membangun masjid layaknya dua buah cermin yang saling berhadapan," kata Ismail Fajri Alatas dalam diskusi di Komunitas Salihara Pasar Minggu, Jakarta Selatan, tadi malam.

Ismail mengaku mendengar kisah itu ketika bertamu ke rumah Hasan bib Ali di Pekalongan, Jawa Tengah beberapa tahun silam. Hasan, menurut Ismail, keeseokan harinya menelusuri letak masjid yang dimaksud oleh Abu 'Alamah.

Hasan meninggalkan rumah dan menyusuri pantai utara Jawa menuju Gebang. "Sekian lama mencari, ia menemukan bangunan tua yang telah hancur di balik barisan gerobak pedagang kakilima,"kata mahasiswa doktoral Universitas Michigan-Amerika Serikat. Ternyata, bangunan masjid itu memang sudah rusak dan terlupakan.

Hasan lalu membangun kembali dan mengabdikan dirinya di masjid Gebang hingga meninggal pada 2001. "Kisah itu terkuak ketika saya berkunjung ke rumah Hasan bin Ali dan menanyakan foto masjid yang terpampang di masjid ruang tamunya," tutur Ismail.

Apa arti masjid Gebang dengan perkembangan Islam dan ketimpangan modernitas sekarang?
Menurut Ismail, kisah itu merupakan representasi dari peristiwa munculnya kembali masa lalu yang kalah. Kesinambungan sejarah masa lalu menjadi hangus, sehingga tidak ada kesinambungan oleh munculnya keseragaman kapital dan negara bangsa. "Modernitas mengandaikan proses maju yang terus menuju kesempurnaan, yaitu mengubah sejarah plural menjadi tunggal," kata Ismail.

Proses ini menjadi paradoks ketika serpihan masa lalu yang kalah muncul ke dalam masa kini dan masa depan serta mengubah kekinian menjadi ranah pengalaman padat dan beranekaragam. "Orang menjadi terkejut dengan bangkitnya idiologi usang yang mampu melawan keseragaman modernitas. Contohnya fundamentalisme dengan peristiwa 11 September (aksi teroris yang menabrakkan pesawat ke menara kembar di New York)," ujarnya.

Inilah, kata Ismail, momok ketimpangan yang menghantui modernitas. "Momok ketimpangan itu bukan bersifat aksidental," kata dia. Cara penyelesaiannya dengan pendekatan antropologi yang mengembalikan masa lalu yang lain ke masa kini dan mengaktualisasikannya. Ia tidak melihat sejarah sebagai kesatuan-alur-waktu yang teratur-kronologis namun sebagai fragmen yang terpisah-pisah.

Diskusi dengan tema serius dalam rangka Ramadan 1430 Hijriah dilanjutkan hari ini. Pembicara lain yang hendak tampil adalah pentolan Jaringan Islam Liberal, Ulil Abshar Abdalla, mahasiswa program doktoral di Harvard University Amerika Serikat. Ia akan mengupas soal Islam dan Islamofobia di dunia barat.

MUSTHOLIH