Dikeluhkan, Arab Saudi Condong Komersialkan Ramadan

kabahTEMPO Interaktif, Jeddah - Ramadan secara literal berarti bulan penuh cahaya. Pada bulan inilah Al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Selain beribadah puasa pada siang hari, umat Islam menjalankan tambahan ibadah salat tarawih pada malam hari, dianjurkan untuk banyak membaca Al-Quran, bersedekah, dan memberikan zakat pada akhir bulan sebagai penyuci jiwa.

Namun, tambahan ibadah itu tak membuat Ramadan otomatis menjadi bulan spiritual, bahkan di jazirah Arab sendiri. "Tak diragukan lagi, Ramadan telah dikomersialkan begitu besar," ujar Prof Dr Abdullah Hady Al-Kahtany, profesor linguistik pada Universitas Raja Khalid di Abha dan Direktur Pusat Pendidikan Islam Jeddah, seperti dikutip Habib Shaikh dalam tulisannya di Saudi Gazette edisi kemarin.

Menurut Al-Kahtany, alih-alih berkonsentrasi pada ibadah kepada Allah, "Kita lebih mementingkan menciptakan makanan-makanan baru, mengutamakan kepentingan luar jiwa, dan mengabaikan tujuan di dalam jiwa yang ingin bersuci," katanya.

Contoh mudahnya adalah orang-orang masih terjaga sampai dinihari, bahkan tembus sampai waktu sahur, tapi kemudian tidur hampir seharian sesudahnya. "Ini bukan hanya berbahaya bagi kesehatan, tapi juga mengotori tujuan utama Ramadan," katanya.

Menurut penjelasan Al-Kahtany, banyaknya orang yang terjaga menyebabkan kanal-kanal televisi di Saudi Arabia dan negara-negara muslim memperpanjang tayangan acara, yang sebagian besar hanya bersifat mengisi waktu (fillers). Tayangan-tayangan ini dipenuhi pelbagai iklan.

"Selain komersialisasi, tayangan yang membuat penonton lebih banyak menghabiskan waktu untuk duduk di malam hari ketimbang beribadah pada gilirannya akan membuat tingkat obesitas terus meningkat, masalah utama di negeri ini," ujar Al-Kahtany.

Dr Abdullah Musaiqir, Direktur Pusat Arab untuk Nutrisi, menyetujui pengamatan rekannya. "Para lelaki Arab sekarang ini tak cukup berolahraga, makan terlalu banyak junk food, dan menghabiskan waktu terlalu sering di depan televisi," tutur Musaiqir. Dia menyebutkan sebuah hasil penelitian terbaru yang menyatakan 53 persen lelaki Arab Saudi menjalani "gaya hidup mematikan" dengan hanya 20 persen yang menjalani gaya hidup sehat.

Gejala komersialisasi dalam bentuk lain dirasakan oleh Khalid Mustafa, seorang muslim India yang berprofesi sebagai penerbit buku. Tahun-tahun sebelumnya Mustafa sering melakukan umrah setiap Ramadan. Tapi kali ini dia melakukannya sebelum masuk puasa. "Tapi tarif hotel pada Ramadan ini naiknya gila-gilaan. Ini komersialisasi ibadah," katanya. "Saya mengerti bahwa saat ini permintaan (untuk kamar hotel) sedang meningkat dibanding jumlah (kamar hotel) yang tersedia, tapi setahu saya Islam menyarankan mencari laba yang masuk akal, bukan seenaknya. Apalagi ini berkaitan dengan ibadah."

Menurut Omid Safi, profesor studi keagamaan di Universitas Colgate, Hamilton, Amerika Serikat, Ramadan seharusnya tidak hanya dilihat sebagai sarana untuk ibadah vertikal kepada Allah, tetapi juga momen untuk menegaskan solidaritas dengan kaum marginal di seluruh dunia, untuk ikut merasakan rasa kehilangan mereka, kedukaan, dan kemiskinan sebagai milik bersama. Bukan hanya perasaan yang dialami oleh jutaan pengungsi Afganistan atau para korban aksi militer di Palestina, Israel, Rusia, Amerika Serikat, Irak, dan banyak negara lain. "Muslim seharusnya didorong bukan hanya untuk berpuasa dari makanan dan minuman, tapi juga dari rasa marah, benci, dan dusta."

AKMAL NASERY BASRAL