Ramadan Penuh Tantangan Keluarga Perantau di Jepang

Universitas Tsukuba, Jepang. Foto: www.tsukuba.ac.jp
Universitas Tsukuba, Jepang. Foto: www.tsukuba.ac.jp

TEMPO.CO, Bandung - Menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadan punya beragam tantangan di negeri orang. Sebuah keluarga perantau dari Bandung yang tinggal di Tsukuba, Jepang, berpuasa selama hampir 17 jam. Pengelola sekolah di sana pun sampai khawatir terhadap kondisi anak yang berpuasa dan menerapkan kebijakan khusus.

Riezki Amalia, mahasiswi program Doctor of Philosophy (PhD) Biomedical, Department of Experimental Pathology, Tsukuba University, Jepang mengatakan, tahun pertama di sana pada 2013 lalu puasa pada bulan Juli terasa menyiksa karena cuaca terasa gerah dan lembab serta durasi puasa yang panjang. Tahun ini terasa lebih ringan karena cuaca masih sejuk, karena peralihan dari musim semi ke panas.

Waktu berpuasa dimulai saat Subuh sekitar pukul 02.30 dan berakhir pada pukul 19.00. Masakan untuk berbuka puasa harus dibuat sendiri seperti bakwan, kolak, dan sayuran, karena makanan jadi terhitung mahal harganya. Kantin kuliner halal di area kampus pun  erada cukup jauh dari wisma keluarga.

"Biasanya sebelum Ramadan saya menyiapkan rendang, dendeng balado, dan gepuk, kemudian mengepaknya dalam kemasan kecil untuk sekali makan sekeluarga," kata Riezki menjawab Tempo lewat surat elektronik, Selasa, 27 Juni 2017 lalu.

Baca juga: Cerita Lebaran Mahasiswa Perantau di Tsukuba Jepang

Riezki dan suaminya telah beradaptasi dengan pola kerja sambil berpuasa selama tinggal di Jepang. Tantangan lain datang dari pengelola sekolah dan anak tunggal mereka yang belajar di kelas empat Azuma Elementary School. Pihak sekolah membahas secara khusus soal Ramadan dengan orang tua siswa Muslim untuk menyiapkan kegiatan khusus selama jam makan siang.

Selain itu, sekolah juga membuat beberapa peraturan khusus, di antaranya tentang hak guru kelas untuk memaksa anak minum atau makan bila kondisi kesehatan anak menurun. Tahun ini, festival olah raga sekolah juga jatuh di hari pertama Ramadan. "Sekolah meminta anak-anak tidak puasa, karena mengkhawatirkan kondisi kesehatan mereka," kata Riezki.

Sekolah juga membuat peraturan, bila anak-anak Muslim ingin mengikuti jam pelajaran renang, mereka tidak diperbolehkan puasa. "Bagi saya menjelaskan hal ini kepada anak dan sekolahnya merupakan tantangan terbesar, tapi prinsipnya selama anak saya belum
akhil baliq dia masih berlatih untuk puasa Ramadan dan belum sampai pada kategori wajib," ujarnya.

ANWAR SISWADI