Ramadan di Tanah Rumi, Tradisinya Mirip di Negeri Ini

Editor

Elik Susanto

Duta Besar Afganistan untuk Indonesia Roya Rahmani. (Tempo/Natalia Santi)
Duta Besar Afganistan untuk Indonesia Roya Rahmani. (Tempo/Natalia Santi)

TEMPO.CO, Jakarta - Sejatinya, Afganistan adalah negeri yang cantik. Tempat lahir para filsuf dan penyair, salah satunya Jalaluddin Rumi. Hampir seratus persen atau sekitar 99,7 persen warga Afganistan beragama Islam. Maka, tak mengherankan bila tradisinya banyak yang berakar dari kitab suci Al-Quran. Tak terkecuali pada Ramadan. Duta Besar Afganistan untuk Indonesia, Roya Rahmani, menggambarkan situasi negaranya hampir mirip dengan Indonesia.

“Hampir sama seperti di Indonesia, Ramadan di Afganistan adalah bulan yang penuh rahmah, bulan untuk berdoa dan beribadah, bulan untuk bersyukur, berkumpul, saling berbagi untuk keluarga dan masyarakat,” kata Rahmani ketika ditemui Tempo di sela-sela menyambut kunjungan Menteri Industri Afganistan, beberapa waktu lalu. Hubungan diplomasi Indonesia dan Afganistan sudah lama terjalin dengan baik. Afganistan merupakan salah satu negara yang pertama kali mengakui kemerdekaan Indonesia, lalu membuka kedutaan di Jakarta pada 1954.

Saat berbuka,  menurut Rahmani, jalanan Kota Kabul yang ramai dan sibuk menjadi lengang. Semua orang menepi dan menikmati iftar. Biasanya berupa kurma, lalu disertai kue-kue tradisional. Semangat berbagi juga terasa kental. "Di jalanan, kita akan kerap melihat orang-orang yang membagi-bagi kurma dan air sebagai sajian buka para musafir."

Dubes Rahmani mengenang Ramadan sebagai bulan terindah saat dia masih kanak-kanak. Ramadan membawa orang-orang yang dia cintai pulang ke rumah lebih cepat. “Ayah saya biasanya pulang cepat. Lalu kami sekeluarga, kakek, dan nenek berbuka puasa bersama. Ramadan adalah bulan favorit saya,” tutur dia.

Masyarakat Afganistan memiliki beragam hidangan untuk berbuka. Sama seperti di Indonesia, yang kerap berbuka dengan aneka gorengan, di Afganistan ada kue khajoor. Lalu kue manis yang disebut jelabi, yang juga populer di wilayah India dan Timur Tengah. Selain itu, ada puding ferni yang lembut mengelus lidah dan melon Afganistan yang segar. Sedangkan untuk menu sahur, biasanya berupa bubur atau roti dan buah-buahan.

Ketika jam makan sahur tiba, lantunan ayat-ayat suci Al-Quran terdengar dari masjid-masjid dan surau-surau, membangunkan para muslim untuk bersiap memulai puasa. Rata-rata warga Afganistan berpuasa selama 17 jam.

Sayang, Ramadan di Bumi Rumi itu pada tahun ini diwarnai duka. Sebuah bom truk meledak di kawasan diplomatik Kabul pada akhir Mei lalu. Sedikitnya 150 orang tewas. “Hanya orang yang berdarah dingin yang bisa melakukan hal sekeji dan sejahat itu. Saya tidak bisa tidur selama sepekan memikirkannya,” kata Rahmani mengecam insiden itu.

Namun dia menegaskan bahwa Afganistan adalah bangsa yang tangguh. “Kami membalas dengan kerja keras.  Negara, kawasan, dan dunia memerlukan kami. Kami kembali bangkit. Masalah ini tidak saja terjadi di Afganistan semata, tapi juga seluruh dunia. Kami harus bersatu dan menunjukkan bahwa kami tidak takut.”

NATALIA SANTI