Kolom Ramadan: Pulang ke Asal

Ilustrasi pemudik lebaran. TEMPO/Dasril Roszandi
Ilustrasi pemudik lebaran. TEMPO/Dasril Roszandi

A. Suryana Sudrajat
Pengasuh Pondok Pesantren Darul Ihsan, Anyer, Banten.

Ribuan orang mulai memadati stasiun kereta api, pelabuhan kapal, terminal bus, hingga bandar udara. Belum lagi kendaraan-kendaraan pribadi yang merayap terutama di jalan-jalan tol. Ini bukan pemandangan baru, sebab begitulah yang terjadi saat menjelang Lebaran, yaitu mudik atau pulang ke tempat asal. Berkumpul bersama keluarga dan sanak saudara, serta mengeratkan kembali tali silaturahmi. Namun mengapa mudik?

Di zaman ketika orang mudah bepergian, pulang kampung bisa dilakukan kapan mau. Silaturahmi pun bisa lebih erat berkat dengan aneka macam aplikasi pada telepon seluler. Tapi itu tidak bisa menggantikan mudik yang boleh jadi kurang bermakna jika tidak dihubungkan dengan Lebaran. Dan untuk itu orang rela membuat antrean panjang dan menempuh kemacetan di jalan raya.

Mudik dan Idul Fitri keduanya mengandung pengertian “kembali”. Pengertian pertama kembali ke tempat muasal, yang satu lagi kembali kepada kesucian, yakni kembalinya manusia kepada asal mula kejadiannya sebagai makhluk fitrah yang suci dan baik. Mudik Lebaran, dengan demikian merupakan sebuah prosesi untuk kembali kepada kesucian dan kebaikan diri. Prosesi ini sejatinya sudah dimulai sejak awal Ramadan, karena pada dasarnya puasa merupakan upaya untuk memperoleh kesucian dan kebaikan diri. Kesucian ini diperoleh setelah kita mendapat pengampunan dari Allah SWT. Hanya saja, ampunan itu cuma diberikan kepada orang-orang yang menjalani puasa dengan penuh keimanan dan introspeksi diri.

Mudik, dengan begitu, bukanlah pulang kampung biasa. Tapi sebuah perjalanan pensucian diri untuk menjadi manusia baru setelah kembali ke fitrah. Adalah fitrah yang menuntun manusia berbuat kebajikan dan tunduk kepada Sang Maha Pencipta. Jika ada orang yang tidak berbuat kebaikan dan berpaling dari Sang Pemberi Hidup, sesungguhnya dia telah menyimpang dari fitrahnya sendiri.  

Seperti halnya berbuat kebaikan, iman juga merupakan fitrah manusia. Iman sendiri, sebagai bentuk kesadaran paling dalam mengenai asal dan tujuan hidup, bersifat dinamis, karena bisa bertambah dan berkurang. Ia juga menjadi absurd atau sebatas klaim jika tidak dimanifestasikan ke dalam perbuatan nyata, yaitu amal kebajikan. Oleh karena itu, penyebutan “orang-orang beriman” di dalam Al-Quran selalu diikuti penyebutan “orang-orang yang beramal saleh.” Untuk itu pula, manusia harus kembali kepada fitrahnya yang suci dan baik itu.  

Secara simbolik perayaan kembali ke fitrah itu disambut dengan mengenakan pakaian baru. Meski begitu, Nabi mengingatkan bahwa Idul Fitri sesungguhnya bukan bagi mereka yang pakai baju baru, tapi bagi yang takwanya bertambah. Bukankah dengan berpuasa orang diharapkan menjadi takwa? Pengertian takwa yang sederhana dan sering kita dengar adalah “menunaikan segala yang diperintahkan dan menjauhi segala yang diharamkan.”

Takwa merupakan mahkota kehidupan orang mukmin. Allah pun menyebut bahwa “orang yang paling mulia di antara kalian adalah orang yang paling bertakwa.” Tetapi siapa yang bisa disebut paling takwa? Tidak ada yang bisa mengaku bahwa seseorang lebih bertakwa dari yang lain. Allah pun hanya menyuruh orang agar semampu mungkin untuk bertakwa. Sementara Nabi menyatakan bahwa takwa itu “haa huna (dia di sini)” seraya menunjuk dadanya, yakni tindakan yang berhubungan dengan hati seperti kejujuran, ketulusan, dan keikhlasan. Minal a’idin. Semoga kita menjadi bagian dari orang-orang yang kembali kepada kesucian diri.

***

Catatan:
Artikel ini diambil dari tulisan kolom pada Edisi Khusus Ramadan Koran Tempo yang terbit Sabtu, 17 Juni 2017.