Kolom: Marawi-London dan Pesan Damai Ramadan

Sebuah rumah terbakar usai terkena roket yang dilancarkan oleh pesawat tempur militer Filipina guna memukul mundur militan Maute yang berada di kawasan tersebut di sebagian kota Marawi di Filipina Selatan, 27 Mei 2017. (AP Photo)
Sebuah rumah terbakar usai terkena roket yang dilancarkan oleh pesawat tempur militer Filipina guna memukul mundur militan Maute yang berada di kawasan tersebut di sebagian kota Marawi di Filipina Selatan, 27 Mei 2017. (AP Photo)

M. Najib Azca
Kepala Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM

Insiden berdarah di Marawi menjelang Ramadan itu mengubur rencana kami. Bersama seorang kolega sosiolog Universitas Gadjah Mada, saya berencana menikmati sebagian bulan Ramadan di wilayah Filipina Selatan yang penuh gejolak itu sambil meriset dinamika islamisme di tingkat lokal. Namun “perang lokal” yang meletus pada 22 Mei lalu—ketika militer Filipina hendak mencokok tokoh milisi Kelompok Abu Sayyaf (KAS), Isnilon Hapilon—membuat rencana kami lebur jadi remah-remah.

Hingga kini pertempuran antara militer Filipina melawan kelompok militan di bawah pimpinan Maute—yang mendukung Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS)—masih berlangsung dan darah terus tumpah. Menurut Rappler.com (24 Mei 2017), diperkirakan lebih dari 55 ribu penduduk mengungsi dari ibu kota Provinsi Lanao del Sur, yang berpenghuni sekitar 201.785 penduduk, yang terletak di Wilayah Otonomi Muslim Mindanao (Autonomous Region in Muslim Mindanao, ARMM). Bahkan, menurut warta terkini, arena pertempuran meluas dengan terjadinya teror di Manila.

Faksi militan di bawah KAS yang saat ini tengah bertempur di wilayah Mindanao merupakan “pecahan” dan transformasi dari gerakan perlawanan sebelumnya, yaitu MNLF (Moro National Liberation Front) dan MILF (Moro Islamic Liberation Front). Berbeda dengan MNLF dan MILF yang bercorak gerakan yang menuntut kemerdekaan atau penentuan nasib sendiri, KAS lebih bercorak teroris-cum-kriminalis.

Seperti kita tahu, peristiwa Marawi ternyata berjalin dengan aksi teror lainnya di Kampung Melayu seusai pawai obor Ramadan di Jakarta, di Manchester Arena setelah konser Ariana Grande, dan terakhir di tengah Kota London. Aksi yang digerakkan jaringan ISIS itu merenggut sejumlah nyawa dan melukai ratusan orang. Tampaknya ISIS menjadikan bulan Ramadan sebagai momen orkestrasi teror. Kenapa begitu?

Ini bisa dipahami sebagai pekik respons ISIS terhadap krisis serius dan merosotnya kekuatan ISIS di Timur Tengah, ketika sejumlah wilayah yang dikontrolnya satu per satu lepas dari genggaman. Dengan demikian, merosot pulalah sumber daya ekonomi politik yang dikelolanya selama ini. Nah, dalam konteks itulah mereka menggeliat untuk membangun dan melebarkan jejaringnya ke Asia Tenggara dan Eropa.  

Lalu, apa kaitan semua ini dengan puasa Ramadan? Rangkaian drama berdarah di Marawi, Jakarta, Manchester, dan London bisa dilihat sebagai salah satu puncak dari tragedi puasa Ramadan. Islam berasal dari akar kata “salam” yang berarti keselamatan atau kedamaian. Sedangkan puasa adalah bentuk ibadah yang paling “damai”; bahkan yang halal pun untuk sementara dilarang demi mencapai tujuan spiritual yang mulia, apalagi yang haram. Namun justru orkestrasi kekerasan yang biadab dilancarkan oleh ISIS.

Mari kita lawan kampanye teror keji ISIS dengan menggemakan kembali pesan damai yang dibawakan dengan anggun dan indah oleh Nabi Muhammad. Seperti yang ditulis dengan indah oleh Yudi Latif dalam Makrifat Puasa:

Bulan suci ini menyeru pedang terhunus untuk disarungkan, fitnah caci maki disusilakan, kebencian pertikaian didamaikan…

Manusia menjalani olah batin demi kembali menuju fitrah kesucian, memulihkan kehanifan yang menggandrungi kebenaran-kebaikan, menumbuhkan kasih sayang kepada setiap yang bernyawa…

***

Catatan:
Artikel ini diambil dari tulisan kolom pada Edisi Khusus Ramadan Koran Tempo yang terbit Kamis, 8 Juni 2017.