Kolom Ramadan: Syair Abu Nawas

Peziarah Muslim berdoa di atas Gunung Rahmat di padang Arafah saat menjalankan ibadah Haji di puar kota suci Mekkah, 22 September 2015. REUTERS
Peziarah Muslim berdoa di atas Gunung Rahmat di padang Arafah saat menjalankan ibadah Haji di puar kota suci Mekkah, 22 September 2015. REUTERS

Wahyu Muryadi
Wartawan TEMPO

Ilaahi lastu lil Firdausi ahlaan
Wa laa aqwaa ‘alannaaril jahiimi

Syair ini rasanya pas jika diucapkan—boleh juga dilantunkan—selama 10 hari kedua bulan suci Ramadan, yang menurut hadis sahih dinyatakan sebagai bulan pengampunan. Diberi judul Al I’tiraf (sebuah pengakuan) karena isinya berupa doa pengakuan dosa sekaligus memohon pengampunan.

Karya klasik ini begitu kondang di kalangan pesantren. Belakangan, syi’ir ini dipopulerkan penyanyi Hadad Alwi, Opick, Grup Rayhan, bahkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Sebelum wafat, Gus Dur sempat mendendangkan doa tersebut lalu direkam dengan title Munajad Gus Dur. Versinya dalam bahasa Jawa juga beredar luas: Tombo Ati.

Para ahli berselisih pandangan tentang siapa sejatinya penggubah puisi ini. Ada yang meyakini sebagai karya Abdullah bin Rawahah. Sahabat Nabi Muhammad SAW tersebut bertobat lantaran tak sengaja melihat betis istri karibnya, Abdullah bin Auf, meski tanpa sengaja—tersingkap angin. Ia lalu menyesali perbuatan itu yang lantas melahirkan karya legendaris ini.

Masih ada pendapat lain yang menyebutkan karya ini gubahan syaikh fulan dan seterusnya. Namun, pendapat yang paling ngetop: penulisnya diyakini bernama Abu Nawas, terkadang disebut Abu Nuwas, seorang sufi dan salah seorang penyair sastra Arab yang ulung. Nama lengkapnya Abu Ali Al Hasan bin Hani Al Hakami yang hidup semasa khalifah Abbasiyah (786-890 Masehi), kala Sultan Harun Al Rasyid memerintah.

Sastrawan sufi kelahiran Persia ini wafat di Bagdad, Irak, pada 810 M. Ia cergas melontarkan kata demi kata yang anekdotis, jenaka, tapi sarat hikmah. Namun bapak rambut ikal (ada dua ikatan pada rambutnya yang sebahu) ini juga banyak dikritik. Riwayat Abu Nawas hanya dongeng Kisah 1001 Malam sehingga tak bisa dijadikan panutan moral. Apalagi sosoknya yang gemar menenggak khamr. Ia bahkan dianggap sastrawan kafir zindiq, cabul, dan “kotor”.

Tudingan miring itu bukan lantas menyurutkan seorang Gus Dur, saya yang daif ini, boleh jadi juga Anda, kagum dengan syair doa Abu Nawas tersebut. “Coba sampeyan cermati, isinya permohonan doa yang sungguh amat diplomatis, Tuhan dibikin bingung meresponsnya, he-he-he,” ujar Gus Dur suatu saat. Si Gus kerap melantunkannya di dalam mobil Mercy presiden, saat jalan pagi keliling taman Istana atau ketika berolahraga ringan dengan treadmill.

Cuplikan syair di kalimat pembuka di atas berupa kepasrahan sekaligus merajuk. Artinya kira-kira begini: wahai Tuhan, saya tak pantas masuk surga firdaus, tapi saya tidak kuat menahan panasnya api neraka…

Maksud Abu Nawas tentunya agar Allah SWT mengampuni dosanya. Tuhan dia sanjung sebagai innaka ghaafirudzdzambil ‘azhiimi, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dosa yang besar. Sedangkan dosa-dosanya yang bejibun dideskripsikan Abu Nawas dengan kalimat menarik: “dzunubi mitslu a’daadir rimaali, dosaku bagaikan bilangan pasir”.

Selama bekerja di Ibu Kota sejak 1989, saya mendengarnya melalui tarhim subuh yang dikumandangkan imam dan marbut masjid di kawasan Setiabudi dan Palbatu, Jakarta Selatan. Lantunan doa itu terkadang spontan terucap lirih. Wa umri naaqishun fii kulli yaumi wa dzambi zaaidun kaifah timaali, dan umurku ini setiap hari berkurang, sedangkan dosaku selalu bertambah, bagaimana aku menanggungnya?

***

Catatan:
Artikel ini diambil dari tulisan kolom pada Edisi Khusus Ramadan Koran Tempo yang terbit Selasa, 6 Juni 2017.