Kolom Ramadan: Puasa yang Diterima  

Umat muslim membaca Alquran di Masjid Zaenab Lat Jinta, Kendari, Sulawesi Tenggara, 1 Juni 2017. Umat muslim meningkatkan ibadah pada bulan suci Ramadan 1438 H dengan membaca Alquran (tadarus), salat berjamaah, berdoa dan dzikir di masjid. ANTARA FOTO
Umat muslim membaca Alquran di Masjid Zaenab Lat Jinta, Kendari, Sulawesi Tenggara, 1 Juni 2017. Umat muslim meningkatkan ibadah pada bulan suci Ramadan 1438 H dengan membaca Alquran (tadarus), salat berjamaah, berdoa dan dzikir di masjid. ANTARA FOTO

A. Suryana Sudrajat
Pengasuh Pondok Pesantren Darul Ihsan, Anyer, Banten.

Tidak sedikit di antara kita yang tambah bobot badan justru di bulan puasa. Setelah seharian dikosongkan, memang ada kecenderungan untuk memanjakan perut dengan makanan yang enak-enak, apalagi pada acara-acara buka bersama. Belanja konsumsi pun seperti sulit dikendalikan. Bulan puasa memang bulan serbaada. Orang-orang boleh mengeluhkan harga-harga yang naik, tapi itu tidak menghalangi mereka untuk berbelanja berbagai barang meski tidak perlu benar. Bulan suci yang penuh ampunan ini sepertinya juga tidak cukup ampuh menghalangi orang untuk berkata kotor, menghina, dan menyebar berita bohong, seperti terlihat di media sosial.

Gambaran itu tentu bertolak belakang dengan semangat puasa, yakni sebagai sarana berlatih mengendalikan diri dari jeratan nafsu perut dan faraj–keinginan melahap apa saja serta mengumbar selera. Karena itu puasa disebut latihan perang melawan hawa nafsu. Rasulullah SAW menyebut perang melawan hawa nafsu sebagai sebuah jihad.

Lebih jauh, beliau juga mengingatkan bahwa pengumbaran hawa nafsu akan memalingkan manusia dari kebenaran (al-haqq). Hanya dengan mengendalikan hawa nafsunya seseorang akan mampu menghindari hal-hal yang tampaknya menguntungkan tapi tidak diridai Allah. Hanya dengan mengendalikan hawa nafsu seseorang bisa menyenangi hal-hal yang mungkin tampaknya membawa kerugian, tapi sebenarnya mendatangkan keridaan Tuhan, seperti menegakkan kebenaran dan keadilan. Kekuatan rohani yang dahsyat ini tentu hanya diperoleh jika seseorang menginsafi benar tujuan sebenarnya puasa.

Berlapar-lapar dan berhaus-haus hanya alat untuk melaksanakan ibadah yang sesungguhnya, yakni menjauhi larangan-Nya, mengerjakan perbuatan-perbuatan yang diridai-Nya, dan mengendalikan hawa nafsu. Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan keji (dusta) dan melakukan kejahatan (kepalsuan), Allah tidak akan menerima puasanya, sekalipun ia telah meninggalkan makan dan minum.” (H.R. Bukhari, Muslim, dan Ahmad). Jadi, tujuan puasa adalah untuk mencegah dusta. Itu yang pertama.

Tujuan yang kedua adalah untuk memperoleh pengampunan. Nabi bersabda, “Barang siapa menjalankan puasa dengan penuh iman dan introspeksi (ihtisab), maka akan diampuni dosanya yang telah lalu.” Jadi, puasa adalah sarana untuk melakukan introspeksi. Bukankah dengan berintrospeksi, seseorang akan menjadi lebih baik?

Ketiga, tujuan puasa untuk melindungi dari perbuatan tidak patut. Dalam sebuah hadis dinyatakan bahwa puasa adalah bagaikan perisai. Karena itu orang yang berpuasa hendaklah (menggunakan perisainya dan) mencegah diri dari hal-hal yang tidak patut.

Terakhir, untuk merangsang berbuat kebaikan. Dalam banyak hadis disebutkan mengenai ajakan Rasulullah SAW kepada orang yang berpuasa untuk mengerjakan kebaikan. Termasuk mengembangkan solidaritas sesama muslim, karena dengan merasakan sendiri haus dan lapar, seseorang dapat merasakan apa yang dirasakan oleh saudara-saudaranya yang miskin dan sengsara. Sebagaimana diriwayatkan sebuah hadis, bahwa Rasulullah SAW biasanya sangat dermawan selama Ramadan. Tidak seorang pun pengemis yang kembali dari pintu rumahnya dengan tangan hampa, dan budak-budak pun memperoleh kemerdekaan mereka dari beliau.

Di zaman sekarang, tentu banyak cara yang bisa ditempuh untuk merealisasikan berbagai kebajikan dan mewujudkan solidaritas sesama muslim. Wallahu a’lam.

***

Catatan:
Artikel ini diambil dari tulisan kolom pada Edisi Khusus Ramadan Koran Tempo yang terbit Sabtu, 3 Juni 2017.