M. Alfan Alfian
Anggota Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PP Muhammadiyah
“Berpuasa Ramadan janganlah sekadar menjaga untuk tidak makan dan minum saja dari sahur hingga berbuka. Jagalah nilai puasamu. Ojo nganti pasamu gabuk; jangan sampai puasamu kosong,” kata guru madrasah saya ketika SD, di pedalaman Jawa Tengah, pada 1980-an.
Gabuk--bukan gebuk atau gubuk--termasuk kata populer di dunia agraris, pertanian. Ia sering dilekatkan pada tanaman utama para petani, yakni padi. Ada dua jenis padi ketika hendak di panen, yakni yang berisi atau ada isinya, yakni beras; dan yang gabuk, yang dari luar terlihat berisi, tapi setelah diteliti ternyata kosong saja. Padi-padi yang berisi membuat batang-batangnya merunduk. Dari sini, muncullah pengibaratan tentang “jurus padi”, di mana seseorang “semakin tua, semakin merunduk”. Bahwa semakin seseorang menjadi tua, semakin kayalah dia akan pengalaman dan ilmu, maka semestinya dia semakin tidak sombong dan bijak dalam menyikapi hidup. Dia merunduk, bukan mendongak memperlihatkan keakuannya.
Guru madrasah saya yang juga petani itu memparalelkan padi yang gabuk dengan puasa yang tak bernilai. “Jangan sampai kamu sekadar menahan lapar dan dahaga, tapi kualitas puasamu nol,” demikian nasihatnya, dan, “Jangan sampai kamu berpuasa, padahal tidak.”
Dari situ anak-anak madrasah dibekali nasihat soal pentingnya kualitas puasa. Sebuah hadis Nabi menyebutkan, “Betapa banyak orang yang berpuasa tapi tidak mendapatkan apa-apa baginya kecuali rasa lapar.” Mengapa demikian, karena mereka tidak mampu menjaga akhlak berpuasa. Hadis lain menyebutkan, “Puasa adalah perisai. Maka barang siapa sedang berpuasa, janganlah berkata keji dan berteriak keras. Jika seseorang mencela atau mengajaknya bertengkar, hendaklah dia mengatakan: aku sedang berpuasa.”
Puasa juga menjadi sia-sia manakala yang melakukan suka berkata dan berbuat dusta. Hadis berikut ini perlu kita camkan, “Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan palsu dan pengamalannya, Allah tidak mempunyai keperluan untuk meninggalkan makanan dan minumannya (puasanya).” Terkait dengan berkata dusta di zaman kita, ketika hampir setiap kita menggenggam telepon pintar, tentulah identik dengan menyebar berita bohong (fake news) atau hoax. Maka, kita harus berhati-hati dalam memilah dan memilih kata, pun dalam mem-forward informasi.
Yang membuat puasa, pun amal-amal kita menjadi tak bernilai, manakala kita sombong. Seiring dengan kegiatan Ramadan, di desa kami waktu itu, para remaja diberi jadwal mengisi bak penampungan air atau kolah di masjid. Karena belum ada mesin pemompa air, mengingat listrik yang terbatas pula, mengisi kolah dilakukan dengan menimba air di sumur yang dalam. Guru madrasah menghimbau agar semua perbuatan didasari niat yang baik dan ikhlas.
“Kalau mengisi kolah di masjid, jangan kemudian mengatakan, ‘Kalau bukan aku yang mengisinya, tak akan penuh kolah itu, tak akan bisa para jamaah berwudu.’ Sebab, perkataan seperti itu mencerminkan kesombonganmu. Janganlah ria karena ia akan menghancurkan semua amal baikmu!” katanya.
Sama dengan puasa yang hanya memperoleh lapar dan dahaga, mengisi kolah masjid hanya dapat lelahnya saja, minus pahala, manakala yang melakukannya sombong, ria. Untuk mencapai kualitas utama dalam berpuasa, tinggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat. Tetap rendah hatilah karena memang yang berpuasa itu sedang menjalani ujian untuk selalu bisa menahan diri dari perilaku yang tidak terpuji. Wallahualam.
***
Catatan:
Artikel ini diambil dari tulisan kolom pada Edisi Khusus Ramadan Koran Tempo yang terbit Jumat, 2 Juni 2017.