Kolom Ramadan: Kebinekaan dalam Epos Bilal  

TEMPO/ Nita Dian
TEMPO/ Nita Dian

Airlangga Pribadi Kusman
Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga dan CEO The Initiative Institute

Dalam riwayat dakwah Muhammad SAW terdapat satu epos menggetarkan, yakni saat kemenangan umat Islam dan kembalinya Rasulullah ke Mekah yang kemudian dikenal sebagai Fathul Makkah. Kala itu, Kanjeng Rasul menitahkan Bilal bin Rabah agar menjadi muazin, penyeru azan.

Bilal sebelumnya mengalami perbudakan oleh tuannya dan penistaan oleh masyarakat karena kulitnya yang hitam legam. Dia berada di posisi double marginality, sebagai kelas terbawah dalam relasi sosio-ekonomi sekaligus bagian dari kaum subaltern penduduk asal Afrika di tengah relasi sosio-kultural tatanan apartheid Arab jahiliah.

Sedangkan azan adalah panggilan untuk menegakkan salat. Dalam salat, umat Islam menundukkan diri, merendahkan hati, dan mengakui kefakiran hamba di hadapan Rabb, Sang Pencipta, dalam keinsafan sebagai makhluk yang setara. Seruan untuk menginsafi kesetaraan makhluk dan kedaifan manusia ini dikumandangkan seorang Bilal, yang sepanjang hidupnya kenyang mengecap perbudakan.

Penunjukan Bilal sebagai penyeru azan menjadi peristiwa penuh hikmah. Setiap bait kalimat azan seperti menyapa Bilal sekaligus mengabarkan penghormatan atas harkat dirinya sebagai bagian dari umat manusia. Muhammad membawa ajaran yang belum pernah ditemui Bilal sepanjang hidupnya sebagai budak.

Keputusan Rasulullah bukan tak memancing cibiran orang Arab, yang kala itu belum sepenuhnya terbebas dari warisan apartheid era jahiliah. Setelah Bilal naik ke atas Ka’bah dan mengumandangkan azan, Attab bin Asid bergumam, “Aku bersyukur kepada Allah karena ayahku telah meninggal dunia dan tidak melihat hal semacam ini.” Al-Harits bin Hisyam pun mencemooh. “Apakah Rasulullah tidak menemukan orang lain untuk mengumandangkan azan selain gagak hitam ini?”

Oleh sebagian besar ulama, peristiwa itu dianggap sebagai episode asbabun nuzul dari ayat yang maknanya serupa dengan semboyan di lambang negara kita, Bhinneka Tunggal Ika.

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS Al-Hujurat: 13)

Ayat tersebut menegaskan relasi unik kesatuan umat manusia beserta segenap kebinekaan di dalamnya. Kemajemukan sosial yang terdiri atas bermacam bangsa, etnisitas, ras, agama, warna kulit, dan bahasa hadir agar setiap orang saling mengenal, respek, dan terlibat dalam solidaritas untuk menghormati kemanusiaan mereka. Bukan untuk saling merendahkan dan membenci.

Umat manusia hanya dinilai berdasarkan ketakwaannya. Dalam Al-Hujurat ayat 13, kita menyaksikan dimensi keadilan dan penghargaan terhadap kebinekaan oleh ajaran Islam.

Hal yang berbeda, dan membuat kita prihatin, muncul ketika kita menyaksikan realitas sosial-politik saat ini. Perbedaan identitas sosial akhir-akhir ini dimaknai sebagai ruang perbenturan dan antagonisme politik. Ungkapan kafir, munafik, dan non-pribumi bertebaran di ruang publik untuk membakar kebencian di arena politik.

Umat Islam di Indonesia patut merenungkan kembali jejak Bilal bin Rabah.

***

Catatan:
Artikel ini diambil dari tulisan kolom pada Edisi Khusus Ramadan Koran Tempo yang terbit Rabu, 31 Mei 2017.