Kolom: Ramadan dan Pesan Kemanusiaan

Seorang muslim tadarus Al-Quran di penghujung bulan Ramadan di masjid Islamic Center, Jakarta, Selasa (6/8). Pada bulan puasa umat Islam memperbanyak ibadah dengan cara menghatamkan Al-Quran dan I'tikaf di dalam masjid. TEMPO/Tony Hartawan
Seorang muslim tadarus Al-Quran di penghujung bulan Ramadan di masjid Islamic Center, Jakarta, Selasa (6/8). Pada bulan puasa umat Islam memperbanyak ibadah dengan cara menghatamkan Al-Quran dan I'tikaf di dalam masjid. TEMPO/Tony Hartawan

Helmy Faishal Zaini
Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama

Ramadan telah tiba. Dalam tradisi kita, bulan suci itu kita sebut sebagai bulan puasa. Sebagaimana biasa, gegap gempita menyambut kedatangan bulan sakral ini berlangsung dengan sangat riuh. Riuh rendah dalam menyambut bulan Ramadan, dalam hemat saya, harus dibarengi dengan pemahaman yang utuh terhadap esensi bulan suci ini.

Secara etimologis, Khalil Abdul Karim (2008) mengatakan Ramadan yang diturunkan dari kata ramidha yarmadhu memiliki arti membakar atau pembakaran. Arti ini merujuk pada realitas geografis dan juga sosiologis jazirah Arab yang demikian menyengat saat ditetapkannya bulan Ramadan sebagai bulan wajib berpuasa. Beberapa pakar sejarah mengatakan Ramadan juga memiliki arti mengasah. Dengan demikian, sah jika dikatakan bahwa Ramadan adalah bulan yang digunakan sebagai wahana untuk mengasah fisik, jiwa, dan spirit seorang hamba.

Ramadan juga memiliki banyak nama. Di antara sekian nama tersebut, yang ingin saya garis bawahi adalah syahr al-judd (bulan kedermawanan). Syahrul judd ini penting dalam konteks kekinian, mengingat kondisi kebangsaan kita yang masih mengalami ketimpangan ekonomi.

Maret lalu, Oxfam dan International NGO Forum on Indonesia Development (lNFlD) merilis laporan yang menyatakan harta empat orang terkaya di Indonesia mencapai US$ 25 miliar. Angka itu setara dengan Rp 333,8 triliun. Adapun total kekayaan 100 juta penduduk miskin di Indonesia sebesar US$ 24 miliar atau sekitar Rp 320,3 triliun. Artinya, bila harta 100 juta penduduk miskin di Indonesia digabungkan, masih jauh lebih kecil dibanding harta empat orang kaya itu.

Menurut saya, ini persoalan yang sangat serius. Ketimpangan yang demikian dahsyat merupakan bukti bahwa kue pembangunan ekonomi negara ini hanya dinikmati segelintir orang. Di sisi lain, puluhan juta rakyat Indonesia masih hidup bergelimang kepapaan. Dengan datangnya bulan puasa, di sinilah momentum terbaik, dalam hemat saya, untuk menata dan memperbaiki keadaan.

Ali Al-Jurjawi (2000) dalam Tarikh Tasyri mengatakan syahru judd adalah bulan ketika umat Islam sangat dianjurkan memperbanyak sedekah serta mengangkat harkat dan meringankan beban fakir miskin. Hal ini semakna dengan pesan yang dikandung Surat An-Nisa ayat 114, bahwa tidak akan ada gunanya manusia beragama jika tidak memuarakan seluruh aktivitasnya pada tiga hal utama: gemar sedekah, gemar berbuat baik, dan gemar melakukan sesuatu untuk menciptakan perdamaian.

Salah satu wujud keimanan dalam konteks kehidupan sosial kemasyarakatan adalah mempedulikan kaum yang lemah secara ekonomi. Dalam banyak riwayat, Nabi Muhammad diceritakan sebagai pribadi yang paling mempedulikan kaum papa. Bahkan Syeikh Muhammad Al-Ghazali dalam Sirah Nabawiyah menceritakan bahwa Rasulullah SAW rela memberikan makanan yang semula hendak dia berikan ke istrinya, Aisyah RA, kepada seorang perempuan kelaparan yang mengetuk pintu rumahnya.

Riwayat tersebut meninggalkan pesan yang mendalam bagi umat muslim bahwa Rasulullah SAW sekeluarga rela berkorban dengan cara merelakan apa yang telah dimilikinya untuk diberikan kepada mereka yang lebih membutuhkan. Semangat membantu kaum yang lemah ini sejatinya merupakan pesan kemanusiaan yang merupakan salah satu esensi ajaran agama Islam. Adapun bulan puasa Ramadan adalah momentum yang pas untuk menumbuhkembangkannya. Wallahu a’lam bis shawab.

***

Catatan:
Artikel ini diambil dari tulisan kolom pada Edisi Khusus Ramadan Koran Tempo yang terbit Selasa, 30 Mei 2017.