Kolom Ramadan: Tarhim Imsak Syaikh Hussary

TEMPO/ Nita Dian
TEMPO/ Nita Dian

Wahyu Muryadi
Wartawan Tempo

Ashshalatu wassalamu alaik, ya imamal mujahidin, ya Rasulallah.
Ashshalatu wassalamu alaik, ya nashiral huda, ya khaira khalqillah.

Kalau saja Anda tinggal di Jawa Timur, khususnya di Surabaya dan sekitarnya, barangkali lantunan syair di kala imsak ini tak asing lagi. Dikenal dengan salawat tarhim, bertutur ihwal keutamaan Rasulullah SAW. Simak saja teks di atas, ya nashiral huda, ya khaira khalqillah, duhai penuntun petunjuk Ilahi, wahai makhluk terbaik.

Syair pujian buat Nabi Muhammad ada beberapa versi. Tapi resital gubahan Syaikh Mahmud Khalil Al Hussary ini mampu menggetarkan hati saya—mungkin juga Anda. Salawat ini biasa diputar melalui pengeras suara di masjid dan langgar selama Ramadan sebagai pertanda jeda di antara sahur dan azan subuh. Tersebab itulah lantunan syahdu ini dikenal pula sebagai salawat imsak atau tarhim imsak.

Syaikh Hussary memang pantas dikagumi. Qari legendaris asal Mesir ini masyhur lantaran suaranya yang khas: berat, tebal, tapi jernih, dengan pelafalan sempurna. Hussary lahir di kawasan Tanta, di utara Kairo. Ia sudah menghafal Quran ketika berumur 8 tahun. Sepuluh jenis qira’ah yang rumit, qira’ah ‘asyrah, dikuasainya ketika masuk Universitas Al-Azhar, sehingga dia dijuluki Syaikh Al-Maqari, syaikhnya para ahli qira’ah. Ia wafat pada 1980 dalam usia 63 tahun.

Hussary mungkin kalah ngetop ketimbang Imam Masjidil Haram yang kini menjadi idola: Syaikh Abdurrahman As-Sudais. Syaikh Sa’ad Al-Ghamidi, Abdurrahman Al Ausy, dan Mishary Rasyid Al-Alafasy termasuk nama beken lainnya dalam bidang seni membaca Quran. Tapi Hussary lebih fenomenal, bahkan ketika disandingkan dengan duo qari top Mesir lainnya yang hidup sezaman: master tajwid Muhammad Siddiq Al-Minshawy dan kampiun dunia tiga kali pada 1970-an, Abdulbasit Abdussamad.

Syukurlah warisan suara Hussary masih bisa kita nikmati melalui cakram padat maupun peranti digital lainnya. Kaset dan piringan hitam berisi azan, salawat tarhim, serta bacaan murattal (iramanya datar dan tanpa pengulangan bacaan) Surah Al-Hujurat dan Ar-Rahman pernah beredar di Tanah Air. Stiker kasetnya bergaris warna kuning, hitam, dan oranye. Sedangkan sampul piringan hitamnya putih bergaris tengah biru dengan khat hitam. Kabarnya dia pernah mampir ke Indonesia, lalu “dibajak” untuk rekaman di Lokananta, Solo.

Saya menikmati suara merdu Hussary dari radio transistor dan radio tabung mata kucing yang biasa dipanteng ayah saat makan sahur pada gelombang khusus dari Radio Yasmara, kependekan dari Yayasan Masjid Rahmat. Dari kaset dan pelat hitam stasiun radio dari kawasan Kembang Kuning, Surabaya, inilah sejak 1960-an suara sang syaikh dipancarkan secara luas.

Menyimak tarhim imsak ini sangat spiritual dan rada romantik bagi saya: suara ajaib itu mampu menyuburkan pengalaman rohani, semangat untuk tetap melek setelah makan sahur—dan bersegera subuhan. Tarhim itu masih terngiang lamat-lamat. Kullu man fissama-i wa antal imamu, seluruh penghuni langit bersalat di belakangmu, dan engkaulah yang menjadi imamnya...

***