Bermalam di Trotoar untuk Mengais Rezeki dari Kulit Ketupat

Penjual ketupat di trotoar Jalan Palmerah, Jakarta, 4 Juli 2016. Tempo/Vindry Florentin
Penjual ketupat di trotoar Jalan Palmerah, Jakarta, 4 Juli 2016. Tempo/Vindry Florentin

TEMPO.CO, Jakarta - Tangan Agus, 40 tahun, sibuk menganyam daun kelapa sambil melayani pembeli bungkus ketupat yang ia jajakan. Jari lincahnya baru berhenti  menganyam saat memberikan uang kembalian ke pelanggannya.

Agus merupakan salah satu pedagang kulit ketupat yang berjualan di sepanjang trotoar Jalan Palmerah Utara, Jakarta.

Daun kelapa untuk membuat kulit ketupat dia bawa dari kampungnya,  Desa Tambiluk, Kecamatan Petir, Kabupaten Serang, Banten. "Saya bawa 200 ribu ketupat," kata dia saat ditemui di trotoar Jalan Palmerah, Jakarta, Senin, 4 Juli 2016.

Setiap sepuluh kulit ketupat ia jual dengan harga Rp 5 ribu. Untuk kulit ketupat yang sudah agak layu, harganya diturunkan menjadi Rp 4 ribu.

Selain kulit ketupat, ia juga membawa lebih dari sepuluh gulung lembaran daun kepala untuk dianyam. Satu gulung berisi 600 lembar yang dijualnya Rp 80 ribu.

Agus berjualan di tempat itu bukan untuk pertama kalinya. Ia mengaku pernah berjualan di sana sebelum pusat penjualan kulit ketupat itu ditertibkan pemerintah.

Agus dan pedagang lain berani kembali mengais rezeki dengan berjualan kulit ketupat di sana setelah meminta izin, atau istilah dia meminta 'pengertian' dari petugas Satuan Polisi Pamong Praja.

"Kami butuh Lebaran, permintaan juga tinggi," kata dia. Petugas Satpol PP pun mengizinkan dengan satu syarat, tak lagi berdagang pada Rabu malam. Agus mengatakan berencana kembali ke kampungnya malam ini. "Kalau malam ini dagangannya sudah laku," kata dia.

Menurut Agus, tiga perempat dagangannya telah terjual. Modalnya sudah kembali. Namun jika tak terjual semua, ia terpaksa bermalam hingga malam takbiran, menunggu dagangannya habis.

"Saya tidur di trotoar sini kalau malam," kata dia saat ditanya tempat bermalamnya. Ia merasa aman karena banyak kawan sekampungya yang juga berjualan di tempat itu.

Agus mengatakan, dari kampungnya ada sekitar 20 orang penjual kulit ketupat yang membuka lapak di sepanjang trotoar tak jauh dari Pasar Palmerah itu.

Masing-masing membawa satu pekerja untuk membantu. "Kepala Desanya dulu jualan juga sama saya di sini," kata dia, tertawa, dengan tangan yang tetap sibuk menganyam.

VINDRY FLORENTIN