KOLOM: Mimpi Jadi Ibrahim

TEMPO/Panca Syurkani
TEMPO/Panca Syurkani

TEMPO.CO, Jakarta -Anak itu duduk termenung di sebuah gundukan tanah gurun, wajahnya menengadah, menatap langit yang tak bertepi. Ia terbenam dalam kontemplasi, membaca benda-benda langit. Baginya Iqra bukan sekedar membaca, tapi lebih mendekati menyidik dan menyibak apa yang bersembunyi di balik benda-benda langit itu.

        Ya, jauh hari sebelum Jibril memeluk Muhammad bin Abdullah sambil berkali-kali menyebut “Iqra !”di sebuah gua sempit di Jabal Nur, Mekkah, ada seorang anak –mungkin usianya baru masuk akil balik-- gemar mengimplementasikan Iqra.

        Kita mendengar kisah Ibrahim yang masyhur ini mungkin dari seorang guru ngaji di sebuah surau kecil, atau ibu yang telaten mendongeng sebelum tidur. Ibrahim lahir dan dibesarkan di Ur, di wilayah selatan Mesopotamia. Ia tumbuh di antara masyarakat pertanian yang memuja Sin, dewa bulan yang juga diyakini sebagai dewa kesuburan ternak dan pengatur pasang-surut air laut.

        Menurut Abraham, The Friend of God, penulis Jerald F Dirks mengatakan kontemplasi ini samasekali tak disinggung dalam Perjanjian Lama, dan hanya Al Quran dan hadits sahih yang jadi sumber rujukannya.

        Ibrahim terperangah menyaksikan bintang senja; jantungnya berdetak kencang, mulutnya berbisik: mungkin ini Tuhanku. Namun harapannya pun luntur, manakala bintang yang mempesona itu tenggelam. Kekecewaan yang sama pun dijumpainya kala ia kemudian menyangka bulan, lalu matahari itu Tuhan: mereka sama-sama tenggelam.

        Semua tahu, pencarian ini berujung happy end. Anak remaja ini  menangkap adanya sebuah desain besar yang mengatur pola  pergerakan bulan, matahari dan bintang senja. Melalui perjuangan yang --tentu saja-- tak mudah Ibrahim menemukan konsep yang kemudian oleh filsuf Aristoteles disebut the unmoved mover atau penggerak yang tidak (perlu) bergerak.

        Kita tahu, dengan kontemplasinya itu, Ibrahim telah meletakkan landasan monoteisme atau agama tauhid tentang Yang Maha Tunggal. Karena keistimewaannya itu, Allah mengangkat Ibrahim jadi nabi ketika ia masih dalam usia muda.

        Namun, semakin hari rasanya semakin mustahil menjadi orang seperti Ibrahim alaihis salam. Kita semakin jarang menengadah ke malam langit, melupakan geo dan egosentrisme yang menekankan bahwa kitalah titik pusat kehidupan yang fana ini.

        Padahal egosentrisme ini bisa lumer bila kita rajin memandang gelap langit. Dengan menengadah, tampaklah aku –yang selama ini menjadi acuan kegiatan sehari-hari-- hanya sebuah atom di jagat yang maha luas ini. Betapa kerdilnya si aku yang selama ini mendahulukan kepentingan sendiri di hadapan kepentingan yang lain.

        Jika egosentrisme kelompok mengeras, tertutuplah jalan Iqra yang dulu ditempuh Ibrahim. Pupuslah keinginan untuk berpikir keras dan terombang-ambing dalam kesangsian, sebelum akhirnya menemukan Yang Maha Benar dan Esa. Positivisme dan fanatisme yang meresap ke dalam peri kehidupan agama belakangan ini mendorong orang untuk selalu mengukuhkan hukum agama setegak-tegaknya, dan siap menegur-mengkafirkan siapa saja yang tidak sejalan.

        Tanpa disadari, mereka telah membunuh anak yang duduk termenung di gelap malam dan menyibak apa yang bersembunyi di balik benda-benda langit itu.

Idrus F Shahab, KoranTempo, 2 Juli 2016