Hari-hari Terakhir Puasa

Editor

Suseno TNR

KH. Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus. TEMPO/Budi Purwanto
KH. Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus. TEMPO/Budi Purwanto

TEMPO.CO - Bulan puasa disebut bulan ampunan karena pada bulan suci itu kaum muslim giat melakukan ibadah yang diharapkan dapat mendatangkan ampunan Allah. Rasulullah SAW bersabda,“Man shaama Ramadhaana iimaanan wahtisaaban, ghufira lahu maa taqaddama min dznbihi.”Artinya: “Barang siapa berpuasa bulan Ramadan semata-mata
karena iman dan mencari pahala Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya yang sudah-sudah.” Sabda lain,“Man qaama Ramadhaana iimaanan wahtisaaban, ghufira lahu maa taqaddama min dznbihi.”Artinya: “Barang siapa tekun beribadah malam semata-mata karena iman dan mencari pahala, maka diampuni dosa-dosanya yang sudah-sudah.”

Menurut riwayat yang datang kepada kita, apabila puasa sudah sampai sepertiga terakhir Ramadan, sebagaimana pelari maraton sudah mendekati finis, Nabi Muhammad SAW semakin mengencangkan amal ibadahnya, menghidupkan malam, dan mengajak keluarganya untuk itu. Bukan hanya salat malam dan iktikafnya, sedekah dan infaknya pun bagai air hujan yang deras.

Kepada para murid atau sahabatnya, Nabi Muhammad SAW juga menganjurkan mempergiat ibadah dengan istilah “mencari Malam Qadar”di akhir-akhir Ramadan.
Seperti diketahui, dalam Al-Quran surat Al-Qadar disebutkan, “Lailatul qadri khairun min alfi syahr,”yang berarti,“Malam Qadar lebih mulia dari seribu bulan.”

Maka beruntunglah mereka yang pada malam Qadar itu sedang sibuk beribadah, memburu kebahagiaan hakiki dan abadi di akhirat. Maka jadilah malam-malam
10 terakhir Ramadan pada waktu itu bagaikan “festival ibadah” yang luar biasa.

Becermin dari itu, kita yang mengaku umat Muhammad SAW jadi malu. Lihatlah betapa di akhir-akhir Ramadan kesibukan kita justru seperti menjauh dari
suasana ibadah. Ibu-ibu mulai sibuk membuat kue dan menyiapkan pakaian buat Lebaran. Mereka yang tinggal di kota-kota besar mulai sibuk merencanakan “ritual tahunan”: mudik. Kalaupun ada yang “mencari-cari” malam Qadar, itu pun dengan konotasi yang lebih duniawi.Keberkahan rezeki dan lain sebagainya.

Sebenarnya kita mengharapkan bulan Ramadan ini menjadi medan pelatihan bagi ketahanan diri kita sebagai mukmin. Kita berlatih mengendalikan diri mulai menahan diri untuk tidak makan dan minum di siang hari. Dengan harapan, kita tidak lagi kemaruk terhadap makanan dan minuman yang, meskipun halal, dapat berakibat buruk bagi diri kita bila kita sembarangan dan berlebih-lebihan. Dengan harapan, setelah Ramadan kita dapat mengendalikan diri dari hal-hal yang diharamkan Tuhan. Dengan harapan, setelah Ramadan, kita dapat mengendalikan diri untuk tidak mudah tergiur iming-iming dunia yang menipu.

Namun ternyata kita masih belum bisa membayangkan dapat mengendalikan diri terhadap banyak hal; utamanya terhadap kebiasaan kita yang sudah membudaya. Buktinya, masih dalam bulan pelatihan pun, kita sudah — menurut istilah pelatnas — tidak atau kurang disiplin.Ternyata hal-hal yang bersifat duniawi sedemikian perkasa, sehingga sebulan melatih diri belum sanggup memberikan kekuatan diri bagi melawannya. Apalagi dalam pelatihan itu kita kurang disiplin. Semoga Allah memaklumi kelemahan kita, mengampuni kekurangan-kekurangan kita, dan menerima ibadah kita apa adanya. Amin.

*)A. MUSTOFA BISRI, KIAI DAN SENIMAN
(Tulisan ini pernah dimuat di Koran Tempo edisi 23 Agustus 2011)