Inilah Dua Kemenangan Puasa  

Editor

Suseno TNR

Ilustrasi lebaran. MANAN VATSYAYANA/Getty Images
Ilustrasi lebaran. MANAN VATSYAYANA/Getty Images

TEMPO.CO - Setelah sebulan melaksanakan puasa di bulan Ramadan, kita bertemu dengan Hari Raya Idul Fitri, yang disebut juga “hari kemenangan”. Pada hari itu, orang merayakan kemenangan karena berhasil melawan segala godaan hasrat dan ujian puasa. Karena itu, yang layak merayakan Idul Fitri hanya para “pemenang” (the winner), bukan para pecundang (the loser), yang kalah “perang” melawan hasrat.


Baca juga: 
Kenapa Anggota DPR Mudah Terjerat Suap? Begini Penyebabnya 
Ditangkap KPK, Ini Profil Politikus Demokrat Putu Sudiartana


Sang pemenang adalah orang yang mampu memenangi perjuangan batin menjaga kesucian puasa. Mereka memperoleh derajat kesucian, kemuliaan, dan pahala karena mampu menahan segala dorongan hasrat: menjaga perut dari makan dan minum, mata dari godaan citra abad informasi, tubuh dari hasrat seksual, diri dari budaya konsumerisme, serta hati dari simulakra kesucian.

Mereka merayakan hari kemenangan dengan “kemenangan kedua”, yaitu kemenangan karena konsisten menampilkan kesucian, kesederhanaan, kecintaan, dan kemuliaan di hari raya, bukan perayaan materi, kelimpahan benda, dan gemerlap citra. Dalam arena “perjuangan” menjadi manusia paripurna melalui puasa, mereka memperoleh “gelar ganda”, yaitu “kemenangan puasa” sekaligus “kemenangan hari raya”.

Sang pemenang mampu meningkatkan “poin” pahala dari tahun ke tahun dan menjadi orang beruntung. Karena itu, mereka mampu mendapatkan manfaat puasa dan Lebaran yang esensial, yaitu penyegaran diri, penyucian hati, penjernihan pikiran, pengasahan batin, dan pembersihan dosa. Pasca-Lebaran, mereka menjadi manusia yang lebih baik, mulia, dan paripurna (insan al kamil).

Sang pecundang menang dalam perjuangan lahir (posisi psikografis dalam masyarakat konsumen), tapi kalah dalam perjuangan batin (tempat mulia di hadapan Tuhan): para artis memenangi posisi dalam arena pencitraan, para penonton menang dalam kuis-kuis, para pengelola televisi memenangi rating, para pengusaha menang dalam bisnis. Sang pecundang menang dalam persaingan lahir tapi kehilangan kontak dengan sumber batin.

Sang pecundang merayakan Idul Fitri dengan “kekalahan kedua”, yaitu kekalahan memperoleh poin Lebaran, setelah gagal mendapatkan pahala puasa. Mereka kehilangan poin dari tahun ke tahun dan menjadi orang merugi dalam perjalanan memperoleh derajat manusia paripurna. Hari raya yang semestinya dihiasi kemuliaan, kesederhanaan, kecintaan, dan solidaritas sosial, justru dihiasi limpahan materi, gemerlap citra, timbunan parsel, deretan ucapan, aroma makanan, kilapan baju, dan kilauan mobil. Penanda-penanda kesucian diambil alih oleh penanda-penanda keduniaan.

Sang pecundang menukar tanda-tanda kesucian dan ketuhanan dengan tanda-tanda keduniaan—citra kultural, status sosial, prestise, gaya, dan gaya hidup. Mereka mengganti pakaian kemuliaan dengan pakaian keduniaan. Dalam suasana kemuliaan puasa dan Lebaran, ia dikelilingi, dikendalikan, dan diatur oleh irama produksi dan konsumsi benda-benda. Ia menjalani ibadah puasa dan Lebaran ditemani obyek dan benda-benda, yang memberinya posisi psikografis dan kedudukan sosial tapi tidak memberinya posisi apa-apa dalam perjuangan mendapatkan kedudukan mulia di hadapan Tuhan.

Ujian sesungguhnya puasa tidak hanya di bulan puasa, ketika kita menahan lapar, haus, iri, dengki, sombong, dan hasrat seksual, tapi juga pada hari Lebaran. Inilah ujian kemampuan menahan diri dari godaan kemewahan, kelimpahan, dan hedonisme Lebaran. Hari Raya bukan tanda sukses melewati segala ujian puasa, melainkan bentuk ujian itu sendiri, yaitu kemampuan kita melawan kemewahan Lebaran.

*) YASRAF AMIR PILIANG, AHLI FILSAFAT MEDIA
(Tulisan ini pernah dimuat Koran Tempo edisi 28 Agustus 2011)


Baca juga: Lagi, Anggota DPR Terjerat Suap: Inilah 3 Jebakan Maut Politikus