Memburu Seribu Bulan ke Mekkah dan Demam Mudik (1)

Editor

Pruwanto

Umat muslim melakukan tawaf atau mengelilingi kabah di Masjidil Haram, Mekah, pada bulan Ramadan, Juni 2016. REUTERS/Faisal Al Nasser
Umat muslim melakukan tawaf atau mengelilingi kabah di Masjidil Haram, Mekah, pada bulan Ramadan, Juni 2016. REUTERS/Faisal Al Nasser

TEMPO.CO, Mekkah - Sekarang jaranglah ada kesempatan untuk menyaksikan lailatul qadar dalam bentuk yang paling murni. Sebuah malam yang digambarkan Bimbo dan Taufik Ismail dengan begitu istimewa. "Saat gunung menahan napasnya. Angin pun berhenti. Pohon-pohon tunduk." Saat momen itu tiba, pahala satu kebaikan diyakini akan dilipatgandakan seperti kebaikan selama seribu bulan (83,3 tahun).

"Ketika (itu) Tuhan menyeka air mata kita," kata Bimbo dalam lagunya Malam Seribu Bulan.

Kini, semua seperti tenggelam dalam hiruk pikuk menjelang lebaran. Bahkan itu juga terjadi di Mekkah. Pada 10 hari terakhir Ramadan, saat lailatul qadar turun di salah satu harinya, Mekkah menjadi melting pot yang luar biasa. Berbeda dengan kehebohan di Indonesia --ketika orang menyerbu mal atau situs e-commerce mencari baju lebaran atau gawai untuk dibawa mudik, di Mekkah sekitar satu jutaan orang dari berbagai bangsa memburu berkah. Sejak Sabtu pekan lalu, 25 Juni 2016 atawa malam ke-21 Ramadan, Masjidil Haram penuh sesak oleh jamaah yang memburu malam lailatul qadar. "Sesaknya sudah seperti haji," kata Abdullah, pengusaha asal Condet, Jakarta, yang ditemui Tempo.co di lantai dua Masjidil Haram.

Lubernya jamaah yang memburu malam lailatul qadar itu bahkan sampai menularkan kemacetan yang luar biasa di kota-kota sekitar Mekkah. Bandara Jeddah, misalnya sampai kehabisan taksi. Ibnu Syaiin, jamaah umrah yang tiba di Jeddah Sabtu lalu, adalah salah satu korbannya. Sempat tertahan karena lamanya antrean di imigrasi dan tak kebagian taksi, Ibnu yang mendarat pukul 18.00 di Jeddah baru bisa masuk ke Mekkah delapan jam kemudian.

Waktu tempuh dari bandara Jeddah ke Mekkah yang biasanya satu jam molor menjadi tiga jam. Bahkan, untuk mencapai hotel di sekitar Masjidil Haram Ibnu terbekap macet. Jalanan menuju Masjidil Haram ditutup lantaran penuhnya jamaah. Jalan yang jaraknya hanya 5 kilometer harus ditempuh oleh Ibnu dalam dua jam tersendiri. "Ini sudah hampir mengalahkan macetnya mudik Pantura," ujar Ibnu, pendatang asal Jakarta Timur yang melakukan untah di akhir Ramadan.

"Mudik ala Pantura", ya itu yang selalu terjadi saat akhir Ramadan di Mekkah. Itu dibenarkan oleh Ali, mahasiswa asal Indonesia yang kuliah di Jeddah. "Semua orang tumplek blek ke Mekkah. Orang Arab lokal sendiri, ditambah jamaah pendatang dari seluruh dunia. Masjidil Haram pada musim haji selalu dipadati sekitar dua juta  orang. Di akhir Ramadan ini jumlahnya sekitar 70-80 persen dari jamaah haji. Itu yang membuat hotel-hotel full booked dan harganya melangit. Jamaah juga berdesak-desakan dan "berjuang" dari mulai hal sepele: ke toilet, mengambil wudu, beli nasi biryani dan roti maryam, sampai salat dan rebutan tempat menggelar sajadah untuk salat dan tidur di masjid.

Segala "nestapa" ala mudik Pantura itu tak menghalangi jamaah yang mencapai jutaan orang itu mencari nikmatnya ibadah. Itulah pengakuan Abdul Rahman, pengusaha asal Srilangka yang punya bisnis ekspor ikan di Makassar dan Jakarta. Kata dia, lezatnya beribadah di Masjidil haram di akhir Ramadan bikin kangen. Salat tarawih 20 rakaat tetap diburu. Padahal tarawih ini tak mudah: berdiri dalam waktu 1,5 jam sampai 2 jam. Bagi yang tak biasa kadang rasanya lutut hendak copot. Ada satu lagi yang juga diserbu jamaah, yakni salat malam atau qiyamul lail berjamaah yang dimulai dari pukul 00.45 dinihari sampai pukul 02.30 pagi. Jamaahnya membludak seperti jamaah tarawih. Tiga lantai di Masjidil Haram penuh. Bahkan, jamaah sampai meluber ke pelataran dan jalan-jalan yang jauhnya 400 meter dari masjid.

"Kecil sekali rasa hati (bila berada di sini)," kata Yusuf Mansyur, ustad pendiri pesantren Darul Quran yang pada Ramadan ini diundang menjadi tamu kerajaan Arab Saudi, dalam akun instagramnya.

Mekkah hiruk-pikuk dengan ibadah. Orang menemukan kesyahduan dalam keramaian. Jadi, format murni lailatul qadar--yang sunyi, angin tak bertiup--sulit ditemui di Mekkah.

BS (Mekkah)