Ramadan, Warga Gresik Hidupkan Festival Damarkurung

Warga memadati Festival Damar Kurung di kampung Kebomas Gresik, Jawa Timur, 18 Juni 2016. TEMPO/Aris Novia Hidayat
Warga memadati Festival Damar Kurung di kampung Kebomas Gresik, Jawa Timur, 18 Juni 2016. TEMPO/Aris Novia Hidayat

TEMPO.CO, Gresik - Ribuan orang memadati sepanjang gang kecil di Jalan Sunan Giri 3 Kebomas, Gresik. Tiga ratus lentera bernama Damarkurung tergantung di indah sepanjang kaki melangkah. Hampir semua pengunjung antusias mengambil foto selfie (swafoto) atau berfoto bersama di Festival Damarkurung ini.

 "Kami ingin mengajak masyarakat memasang kembali Damarkurung, yang sangat identik dengan bulan Ramadhan," kata ketua panitia Damarkurung Fest Novan Effendy saat ditemui Tempo di lokasi, Minggu malam, 19 Juni 2016.

Ratusan Damarkurung itu dilukis siswa-siswi sekolah dasar sekitar kampung Kebomas dan anggota ormas Muhammadiyah di tingkat kabupaten. Festival Damarkurung kelima ini tak hanya diminati pengunjung dari kabupaten Gresik saja, namun Surabaya, Semadang, hingga Bandung. "Seru di sini, bagus buat foto-foto," kata Charoline, seorang pengunjung dari Surabaya.

Damarkurung ialah lentera empat sisi yang dilukis dengan gambar-gambar bertema kehidupan masyarakat Gresik, khususnya kawasan pesisir. Kesenian tradisional ini sudah ada sejak abad ke-16.

Tiap generasi melukis dengan kisah yang berbeda seiring perkembangan zaman. Awalnya, gambar-gambarnya cenderung bercerita mengenai legenda rakyat. "Kalau dulu aktivitas naik kuda, sekarang naik becak, sepeda motor. Bisa bercerita apa saja dan bertemu siapa saja," ujar dia.

Tradisi memasang Damarkurung, kata Novan, identik dengan bulan Ramadhan. Damarkurung memang dipasang sebagai pengganti lampu. "Namun setelah masuk listrik dan teknologi lampu, tradisi ini perlahan surut."

Kepopuleran Damarkurung kembali muncul saat masyarakat mengenal sosok mbah Masmundari. Pada tahun 1980-an, ia dikenal sebagai pelukis Damarkurung yang menjualnya di tempat padusan (pemandian umum) menjelang bulan suci Ramadhan. "Mbah Masmundari adalah generasi ke-8 di keluarganya yang menekuni kesenian Damarkurung," tuturnya.

Masmundari konsisten merekam potret kehidupan keseharian masyarakat sepanjang tahun 1987-1990. Dalam setahun, ia bisa menghasilkan 300 karya. "Dulu mengecat Damarkurung pakai pewarna kue dan konsisten memakai warna-warna solid seperti merah, kuning, biru, dan hitam. Beliau tidak mengenal gradasi."

Dalam tradisi Damarkurung pun, terdapat sejumlah pakem (standar). Pakem itu mirip dengan penggambaran dalam candi-candi di Jawa Timur. Antara lain, jika cerita dikisahkan berlatar di luar ruangan, terdapat pohon dan ranting. "Kalau di dalam ruangan ada bentukan atap."

Sedangkan panah menunjukkan adanya sirkulasi udara dan tiga titik menggambarkan adanya percakapan atau interaksi manusia. "Selain itu, tidak ada manusia yang digambarkan menghadap ke depan, selalu ke samping," ucap Novan.

Tak ketinggalan, bagian atas damarkurung yang berbentuk sudut-sudut segitiga. Menurut Novan, bentuk segitiga ke atas, menggambarkan hubungan antara manusia dan penciptanya sesuai prinsip ibadah Islam.

Meski Damarkurung diminati dan menjadi bahan penelitian anak-anak muda, pemerintah kabupaten Gresik belum memberikan dukungan penuh. Damarkurung belum diakui secara resmi sebagai budaya asli Gresik. "Kalau kesenian berusia ratusan tahun ini tidak mendapat perhatian dari pemerintah, kami khawatir suatu saat bisa hilang," ujarnya.

ARTIKA RACHMI FARMITA