Salafisme Sejati Muhammad Abduh (3)

Editor

Suseno TNR

REUTERS/Yusuf Ahmad
REUTERS/Yusuf Ahmad

TEMPO.CO - Ambillah contoh soal perbedaan antara Abduh dan kaum Wahabi perihal mazhab. Abduh menentang keterikatan secara ketat pada satu mazhab karena hal itu dia anggap identik dengan sikap taklid. Baginya, kaum muslim mesti punya kebebasan memilih pendapat yang secara argumen paling kuat dari mazhab-mazhab yang ada, dan berani melakukan ijtihad sendiri jika diperlukan. Artinya, yang dia tolak dari mazhab adalah tendensinya untuk menumpulkan sikap kritis dan rasional. Coba bandingkan dengan antipati kaum Wahabi terhadap mazhab. Di mata mereka, bermazhab sama dengan berpegang pada pendapat para ulama semata, yang notabene melibatkan peran akal, dan bukan pada teks Al-Quran dan hadis secara langsung. Jadi, Abduh menolak mazhab karena dianggap mengurangi peran akal, sedangkan kaum Wahabi menolaknya semata-mata karena curiga dengan peran akal yang berlebihan di dalamnya.

Kontras yang lain juga bisa kita temukan dalam pandangan kedua kubu tentang tauhid. Bagi kaum Wahabi, tauhid berarti menghamba hanya kepada Allah secara mutlak. Setiap perilaku yang mencerminkan ketundukan terhadap siapa pun atau apa pun selain Allah dianggap sama dengan syirik. Masalahnya, mereka mendefinisikan syirik secara sempit dan kaku, sampai-sampai hormat kepada bendera pun dikategorikan syirik. Tidak aneh kalau kaum Wahabi lantas begitu mudah menyebut sesat pandangan lain di luar pahamnya. Anehnya, yang jadi ukuran adalah diri mereka sendiri, seperti diungkap oleh Muhammad bin Abdul Wahhab, kakak kandung sang pendiri Wahabisme: Wa taj’alun mizan kufr al-nas mukhalafatakum wa mizan al-Islam muwafaqatakum” (kalian jadikan penentangan orang terhadap pendapat kalian sebagai ukuran kekafiran mereka dan persetujuannya terhadap pendapat kalian sebagai ukuran keislaman mereka).

Bandingkan dengan konsepsi Abduh tentang tauhid. Abduh menulis: “Dalam hal iman kepada Allah, Islam bergantung hanya pada pembuktian rasional, bukan pada kejadian supernaturanl atau suara dari langit? Kaum muslim umumnya sepakat bahwa urutan iman kepada Allah mendahului iman kepada Rasul. Karena itu, tidak tepat kalau dikatakan dasar iman kepada Allah mengacu pada risalah utusan-Nya. Justru sebaliknya, seseorang mesti beriman dulu kepada Allah sebelum beriman kepada kenabian utusan-Nya.” (Al Islam wa al-Nashraniyyah).

Pandangan Abduh tersebut bertolak dari keyakinannya bahwa kesempurnaan ajaran Islam bertaut erat dengan karakternya yang rasional. Dengan menarik dia menganalogikan perkembangan agama dengan perkembangan kemanusiaan dari fase kanak-kanak menjadi dewasa. Pada fase kanak-kanak, kata Abduh dalam Risalah, Tuhan menurunkan agama dalam bentuk perintah dan larangan, seperti orang tua memperlakukan anaknya. Maka muncullah agama Yahudi. Ketika kemanusiaan menginjak remaja, agama baru yang turun memakai pendekatan kasih sayang untuk menyentuh hatinya. Maka turunlah agama Kristen. Dan tatkala kemanusiaan tumbuh dewasa, agama baru yang cocok dengan fase itu adalah agama yang berbicara kepadanya bukan hanya dengan perintah dan larangan, juga bukan hanya dengan kasih, melainkan terutama dengan akal. Dan itulah Islam.

Dengan kata lain, sementara salafisme Wahabi melancarkan takfir (pengkafiran), salafisme Abduh menggalakkan tafkir (pengaktifan pikiran). Adanya pertentangan dua salafisme tersebut lantas membuat kita bertanya: apa hakikat Islam salafi? Kaum Wahabi mengartikannya sebagai sebagai laku ngeblat generasi salaf, dengan menjadikan mereka sebagai model untuk dicontoh secara harfiah. Apa pun yang berbeda dari pakem ngeblat mereka langsung dicap bid’ah. Di sini proses sejarah umat dilihat sebagai proses penyimpangan, lantaran menjauhkan Islam dari kemurniannya. Karena itu, Islam mesti dimurnikan kembali setiap saat. Artinya, bagi kaum Wahabi, masa depan umat Islam adalah masa lalu mereka.

Cara ngeblat seperti itu di mata Abduh tentu akan dikategorikan sebagai taklid, sesuatu yang justru bertentangan dengan tujuan utama kembali ke generasi salaf. Bagi Abduh, meneladani salaf bertujuan untuk menemukan élan progresif Islam yang untuk waktu yang lama terkubur oleh kejumudan para pemeluknya. Islam salafi yang rasional dari Abduh inilah yang menurut saya perlu lebih keras disuarakan sekarang. Itu kalau kaum muslim memang betul-betul merealisasi semboyan mereka bahwa Islam adalah agama yang cocok untuk segala waktu dan tempat (sholihun li kulli zamanin wa makanin).

*) AKHMAD SAHAL, Wakil Ketua Pengurus Cabang Istimewa NU Amerika-Kanada
 (Tulisan ini pernah dimuat di Koran Tempo, 20 Agustus 2011)