Salafisme Sejati Menurut Muhammad Abduh (1)

Editor

Suseno TNR

REUTERS/Yusuf Ahmad
REUTERS/Yusuf Ahmad

TEMPO.CO - Salafisme pada awalnya merupakan gerakan memperbarui Islam, tapi dalam perkembangannya kini justru berbalik menjadi gerakan yang melawaskannya. Pada akhir abad ke-19, seorang ulama Mesir, Muhammad Abduh, menegaskan perlunya reformasi Islam dengan cara meneladani generasi muslim awal yang saleh (al-salaf al-shalih).  Sebab, ia percaya bahwa Islam salafi pada hakikatnya adalah agama yang rasional.

Namun, dalam beberapa dekade terakhir, salafisme tiba-tiba menjadi identik dengan Wahabisme, aliran puritanisme Islam yang lahir di Najd (Saudi), yang justru membredel peran akal dalam agama. Sementara salafisme pertama menyerukan kembali ke periode perdana Islam yang murni dengan tujuan mem-”bumi”-kannya dalam konteks masa kini agar kaum muslim tidak gagap berhadapan dengan modernitas, salafisme kedua menyatakan kembali ke Islam masa salaf dengan cara me-”mumi”-kannya, seakanakan masa depan umat adalah masa lalunya.

Agenda salafisme Abduh sejatinya bisa ditelusuri jejak awalnya pada pemikiran gurunya, Jamaluddin al-Afghani, khususnya dalam polemiknya dengan Ernest Renan tentang Islam. Dalam satu ceramahnya di Sorbonne, Paris, pada 1883, filsuf Prancis tersebut mencap Islam sebagai agama yang memusuhi sains dan pikiran modern, dan karena itu menjadi penghalang bagi kemajuan para pemeluknya.

Membantah Renan, Afghani menegaskan bahwa gejala yang disebut Renan sebagai antipati Islam terhadap sains tidak lain hanyalah praktek keislaman yang telah kehilangan otentisitasnya. Inilah yang membawa umat ke dalam keterbelakangan, yang pada akhirnya menyebabkan mereka mudah dimangsa imperialisme Barat. Afghani kemudian melantunkan sikap anti-imperialisme dengan bersandar pada Islam otentik, yakni Islam salafi, yang memberi peran sentral pada akal dan menempatkan umat sebagai agensi yang aktif dalam mengubah nasibnya sendiri.

Seruan Afghani rupanya bergema kuat pada diri Muhammad Abduh, yang lalu memperjuangkan agenda pembaruan Islam secara lebih sistematis. Bagi Abduh, pangkal penyebab keterbelakangan umat Islam selama berabad-abad adalah begitu berakarnya situasi jumud (beku) dalam benak kolektif mereka akibat merajalelanya taqlid, percaya begitu saja kepada otoritas agama dalam bentuk apa pun tanpa sikap kritis.

Patut dicatat, taklid di sini tidak terbatas pada artinya yang sempit, yakni keterikatan secara dogmatis pada salah satu empat mazhab. Taklid yang dikecam Abduh lebih luas dari itu, yakni sikap membebek saja kepada tradisi, aturan, dan pendapat ulama masa silam atau sekarang tanpa sikap kritis. Begitu kerasnya kecamannya terhadap taklid, sampai ia menghubungkannya dengan tabiat orang-orang kafir yang ketika diseru untuk mengikuti kitab Allah lantas menjawab,“Kami ikuti apa-apa yang kami dapat pada orang-orang tua kami.”

Hantaman Abduh kepada taklid ini erat kaitannya dengan keyakinannya bahwa Islam dalam bentuknya yang otentik, yakni tatkala doktrin agama ini belum dipergemuk dengan pelbagai ornamen dan pernik yang menempel padanya karena pengaruh perbedaan sekte teologi dan mazhab fikih, niscaya sejalan dengan akal. Dalam Risalah al-Tauhid, ia menulis bahwa baru dalam Islam-lah “akal dan agama bersaudara buat pertama kalinya dalam kitab suci”.

Inilah pengertian kembali ke al-salaf al-shalih menurut Abduh, yakni kembali ke generasi muslim awal sebelum perpecahan umat ke dalam sekte dan aliran yang beragam dan bertentangan. Dan Islam salafi baginya adalah Islam yang rasional.

*) AKHMAD SAHAL, Wakil Ketua Pengurus Cabang Istimewa NU Amerika-Kanada
(Tulisan ini pernah dimuat di Koran Tempo, 18 Agustus 2011)