Semiotika Puasa

Editor

Suseno TNR

Ilustrasi anak kecil berpuasa. parenthub.com.au
Ilustrasi anak kecil berpuasa. parenthub.com.au

TEMPO.CO - Ramadan adalah bulan renungan. Ia tak hanya bulan pengendalian lahir (lidah, perut, mata), tapi pengasahan batin (hati, jiwa, keyakinan). Pikiran, kesadaran, dan tindakan lebih diarahkan ke dalam diri (inward): refleksi, introspeksi, iluminasi, koreksi diri, pensucian diri, dan peningkatan diri.

Pembatinan (inwardness) adalah mekanisme “menyembunyikan” yang batin agar tak muncul sebagai penampakan luar (outward), agar tak ditonton orang lain. Pembatinan puasa adalah refleksi diri dalam menahan segala dorongan riya, pamer, dusta, dengki, sombong, angkuh, loba, dan tamak.

Refleksi adalah “urusan dalam”, sedangkan gaya dan tanda adalah “urusan luar”. Puasa adalah maksimalisasi urusan dalam dan minimalisasi urusan luar, eksplorasi habis-habisan tanda batin atau ketuhanan (divine signs) dan pengendalian tanda lahir (material sign). Memperbanyak refleksi, serta mengurangi penampilan diri.

Namun, dalam masyarakat tontonan (society of spectacle) kini, puasa menjadi bagian skema masyarakat tontonan. Segala hal tentang puasa-berbuka, sedekah, sahur, salat tarawih-kini harus “ditampakkan” sebagai bagian komoditas tontonan: berita, talk-show, reality show, musik, sinetron, dan film. Segala yang batin kini ditampakkan ke luar.

Karena itu, penampilan, gaya, tanda, simbol, tema, suasana, dan tren kini menjadi penting dalam skema puasa masyarakat tontonan. Berbuka atau sahur harus ditemani aneka tontonan menghibur, mempesona, dan menimbulkan daya pikat. Yang batin kini ditampakkan, sedangkan pencerahan batin terabaikan.

Iklan-iklan minuman suplemen, air mineral, obat kuat, obat mag, minuman energi, biskuit, baju koko, dan tur wisata kini menjadi bagian tontonan puasa. Para ustad kini menjadi bagian skema masyarakat tontonan, yang ikut berperan dalam medan perang tanda media komersial, untuk memperebutkan penerimaan publik.

Dalam masyarakat tontonan, segala komoditas tontonan harus dimuati sistem tanda (sign system), sebagai “juru bicara” gaya hidup (life style). Orang “berbicara” dan memperebutkan posisi sosial melalui pakaian, kopiah, atau baju koko. Di televisi, berbuka, sahur, zikir, sedekah, ceramah, dan Lebaran harus mengikuti logika tanda dan gaya televisi: gaya berbuka, gaya sahur, gaya zikir, gaya sedekah, gaya ceramah, atau gaya Lebaran.

“Gaya puasa” menjadi elemen penting gaya hidup, yaitu pola penggunaan ruang (belanja, makan, hiburan), barang (pakaian, mobil, rumah), dan waktu (liburan, waktu senggang) selama bulan puasa. Melalui diferensiasi gaya puasa dibangun diferensiasi kebiasaan sosial (habitus), dunia simbol, sistem selera (taste), dan identitas budaya.

Sebagai bagian gaya hidup, puasa adalah persaingan posisi dalam medan sosial masyarakat tontonan, melalui mekanisme oposisi (pertentangan, konflik) atau perbedaan. Inilah perjuangan pada tingkat tanda, yang membangun sistem diferensiasi tanda dan gaya. Puasa masyarakat tontonan adalah sebuah “perang semiotik” (a semiotic warfare) dalam sistem seduksi media, untuk merebut hati pemirsa.

Puasa masyarakat tontonan bukan “persaingan batin” memperjuangkan tempat mulia di hadapan Tuhan, tapi “persaingan lahir” memperebutkan posisi psikografis dalam masyarakat tontonan. Inilah persaingan penampakan luar di hadapan para penonton setia media komersial, yang antusias menantikan kelucuan, keanehan, kekonyolan, dan gelak tawa para penghibur dan badut, sebagai hiburan pengantar berbuka serta sahur yang melelahkan.

*) YASRAF AMIR PILIANG, AHLI FILSAFAT MEDIA
(Pernah dimuat di Koran Tempo, 16 Agustus 2011)