Puasa Cangkang, Bupati Dedi: Umat Hanya Berpikir Makanan

Editor

Zed abidien

Dedi Mulyadi, Bupati Purwakarta, Jawa Barat. TEMPO/Nanang Sutisna
Dedi Mulyadi, Bupati Purwakarta, Jawa Barat. TEMPO/Nanang Sutisna

TEMPO.CO, Karawang - Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi mengkritik kebiasaan berpuasa sebagian masyarakat Indonesia. Ia berpendapat, tabiat masyarakat mengkonsumsi gula selama Ramadan terlalu berlebihan. Selain itu, ia menuding ahli gizi telah mendoktrin ibu-ibu, selaku penguasa dapur, hanya berpikir soal makanan.

"Sehingga pikirannya hanya mengejar cita rasa yang dibesar-besarkan pakar di media," ucap Dedi dalam pidatonya saat safari Ramadan di alun-alun kantor Kecamatan Cilamaya Wetan, Kabupaten Karawang, Minggu, 12 Juni 2016.

Menurut Dedi, isu mengkonsumsi gula dalam Islam, lewat hadis Nabi Muhammad, yang menganjurkan berbuka puasa dengan makanan manis, terlalu digambar-gemborkan media saat puasa. Ia berpendapat, hal itu membuat orang berpikir bagaimana caranya kuat menahan lapar saat berpuasa.

"Jika Nabi hanya mengkonsumsi tiga biji kurma, celakanya masyarakat lebih dari itu. Setelah kurma, minum kolak, sup buah, lalu makan nasi. Akibatnya, kadar gula masyarakat naik saat akhir puasa," tuturnya.

Hal itu selalu berulang dari tahun ke tahun. Dedi mengatakan ada tren di rumah sakit, yakni jumlah pasien menurun saat awal Ramadan, sedangkan menjelang Lebaran menumpuk. "Saya kan selalu keliling ke rumah sakit. Trennya selalu begitu kok," ucapnya.

Ia berpendapat, hal itu membuktikan bahwa sebagian masyarakat belum memaknai puasa seutuhnya. "Puasa mereka hanya cangkang (kulit), terlalu mengurusi urusan perut. Padahal puasa sejatinya menahan hawa nafsu," tuturnya.

Tingkat konsumsi yang lebih tinggi saat bulan puasa membuat Dedi merasa heran. Ia berpendapat, seharusnya harga bahan makanan murah saat Ramadan. "Karena konsumsi lebih sedikit dibanding hari biasa, tapi yang terjadi justru sebaliknya,"

Puasa cangkang yang dilakukan sebagian masyarakat secara tidak langsung menjadi penyebab kenaikan harga bahan makanan akhir-akhir ini. "Pemerintah yang tertekan oleh masyarakat dan media sosial terpaksa mengimpor bahan makanan. Akibat impor, nilai tukar rupiah menjadi lemah karena terlalu banyak membeli daripada menjual," ucapnya.

HISYAM LUTHFIANA