Masjid Ampel, Tak Pernah Sepi dari Jamaah dan Peziarah

Editor

Zed abidien

Makam Sunan Ampel, Surabaya. TEMPO/ Darmaji
Makam Sunan Ampel, Surabaya. TEMPO/ Darmaji

TEMPO.CO, Surabaya - Ratusan pedagang berderet di sepanjang gang menuju Masjid dan Makam Sunan Ampel Surabaya. Mereka menjual baju muslim dan makanan khas timur tengah, termasuk pedagang kurma yang berderet di antara penjual sarung, minyak wangi khas Timur Tengah, tasbih, hingga rebana.

Kawasan itu kian ramai menjelang berbuka puasa. Banyak peziarah dan warga sekitar buka bersaama sambil salat jamaah Magrib di Masjid Agung Sunan Ampel itu. Sekitar 500 takjil nasi bungkus dibagikan kepada jamaah yang ada di masjid yang dibangun sejak 1421. “Kalau buka puasa kami sediakan sekitar 500 takjil, kalau sahur sekitar 200 bungkus nasi,” kata Koordinator Keamanan Masjid Agung Sunan Ampel, Muhammad Pa’bud, Rabu, 8 Juni 2016.

Ratusan takjil itu biasanya didapatkan dari para donatur dan beberapa warga yang mengantarkan takjil itu ke masjid. Terkadang, pengurus Masjid Agung Sunan Ampel juga menyediakan takjil itu. Umumnya, usai buka puasa dan salat Magrib, para peziarah melanjutkan dzikirannya ke Makam Sunan Ampel yang ada di belakang masjid.

Para peziarah kembali ke masjid menjelang salat Isyak yang kemudian dilanjutkan dengan tarawih. Sekitar 1500 jamaah mengikuti tarawih tiap malamnya. Mereka sangat sabar walaupun salatnya sangat lama. Bisanya, salat tarawih di masjid ini rata-rata dua jam. Lamanya salat tarawih itu karena setiap malam harus selesai satu jus, sehingga di akhir Ramadan sudah khatam.

Sedangkan tarawih di masjid ini mengikuti aliran NU, yaitu tarawih 20 rakaat dengan 10 salam ditambah salat witir tiga rakaat dengan dua salam. Sementara yang bertindak sebagai imam tarawih adalah imam besar di masjid itu bernama Gus Rofik yang juga dikenal sebagai hafidz (penghafal Al Quran). “Semua imam di masjid ini hafidz,” kata Muhammad Pa’bud.

Para peziarah semakin banyak pada malam Nuzulul Qur’an, yaitu pada tanggal 17 Ramadan. Kala itu, ada acara rutin pengajian akbar untuk memperingati awal turunnya Al Quran itu. Ribuan jamaah akan hadir pada acara tahunan itu. “Biasanya kami mengundang kiai Basori Alwi dari Singosari untuk berceramah,” ujarnya.

Bahkan, para peziarah dan pengunjung akan semakin membludak pada malam ‘likuran’ atau malam ke-21-29 hari puasa Ramadan. Komplek pemakaman Sunan Ampel itu seakan banjir pengunjung. Pasalnya, mereka ingin berburu Laylatul Qodhar di tempat pemakaman Wali Songo yang dikenal paling sepuh itu.

Pada masa perburuan Laitul Qodar, para peziarah biasanya mengaji di makam Sunan Ampel atau hanya i’tikaf di dalam masjid. Peziarah yang mengaji di lokasi makam, ada yang datang sendiri, ada yang berkelompok. Adapun peziarah yang datang berkelompok, selalu ada pemimpin yang memandu mereka untuk membaca ayat-ayat suci Al Quran dan doa-doa tahlil.

Menurut Muhammad Pa’bud, pengelola masjid dan komplek pemakaman Sunan Ampel tidak ada persiapan khusus menyambut datangnya bulan suci Ramadan itu. Pasalnya, masjid dan komplek pemakaman itu selalu dirawat secara berkala oleh tim clening service dan tim pengecatan. “Persiapannya sebenarnya tidak ada, karena di sini selalu ramai dan selalu dirawat berkala,” tuturnya

Masjid Ampel itu didirikan oleh Sunan Ampel pada tahun 1421, dibantu sahabat karibnya Mbah Sholeh dan Mbah Sonhaji, serta santrinya. Masjid ini dibangun di atas tanah seluas 120 x 180 meter persegi di Desa Ampel (sekarang Kelurahan Ampel), Kecamatan Semampir Surabaya atau sekitar 2 km ke arah Timur Jembatan Merah. “Semua bangunannya masih asli bangunan lama, dan kami tambahkan bangunan baru di pojok masjid,” kata Muhammad Ba’abud.

MOHAMMAD SYARRAFAH