Belajar Agama Secara Kritis

Editor

Suseno TNR

Komaruddin Hidayat. TEMPO/ Hendra Suhara
Komaruddin Hidayat. TEMPO/ Hendra Suhara

TEMPO.CO, Jakarta - Paradigma fikih cukup menonjol dalam studi keislaman di Indonesia. Ini menunjukkan kesadaran dan keinginan seseorang agar di mana pun berada tidak melanggar hukum Tuhan. Namun, kalau yang menonjol hanyalah perintah dan larangan, maka aspek ajaran agama lainnya bisa tergeser. Pendekatan demikian tentu berbeda dari masa-masa awal berkembangnya Islam di Nusantara yang lebih mengedepankan aspek tasawuf dan kultural. Atau bahkan berbeda dari masa Rasulullah Muhammad ketika menyebarkan Islam di Mekah dan Madinah di mana aspek fikih tidak dominan.

Formulasi dan artikulasi ajaran sebuah agama selalu mempertimbangkan kepada siapa dan dalam masyarakat apa yang hendak disampaikan. Dewasa ini, ketika Islam mulai berkembang di Barat, muncul fenomena baru bagaimana memperkenalkan Islam kepada mereka. Islam yang disampaikan dalam forum ilmiah di kampus-kampus diasuh oleh beberapa dosen ahli dengan beragam keahlian. Begitu pun buku-buku keislaman yang beredar di negara Barat punya penekanan yang berbeda dari yang beredar di Indonesia.

Bagi masyarakat terpelajar yang kritis, tidak mudah menerima sebuah doktrin agama tanpa terlebih dulu mendalami secara rasional. Terlebih mereka yang bergaul di lingkungan lintas agama, selalu muncul nuansa perbandingan kritis dengan agama-agama lain. Ini berbeda dari masyarakat yang homogen dengan tradisi agama yang juga homogen. Dulu, ketika di kampung, belajar agama itu sekadarnya saja, yang penting pengamalannya. Kalau bertanya secara kritis bahkan dimarahi Pak Guru. Tetapi sekarang situasi sudah berubah. Baik anak maupun orang dewasa mulai terbiasa membahas secara kritis ajaran agama. Banyak orang tua dan guru yang merasa kesulitan menjawab pertanyaan anak-anak tentang agama.

Sekolah dan universitas di kota besar merupakan miniatur masyarakat Indonesia yang majemuk. Beragam orang bertemu dari latar belakang etnis dan agama yang
berbeda. Perbedaan ini bisa membuka peluang untuk saling berdialog memperkaya wawasan budaya dan agama, tapi bisa juga menciptakan jarak, bahkan konflik. Sebagai komunitas kampus yang terpelajar, mestinya mereka mengembangkan sikap kritis-dialogis dan apresiatif karena mereka calon pemimpin masa depan Indonesia yang majemuk ini. Kebesaran Indonesia justru terletak dalam kemajemukan. Tetapi kalau tidak mampu merawatnya, justru akan berubah menjadi kelemahannya.

Sebuah pernyataan bahwa semua agama sama adalah menyesatkan. Setiap agama pasti memiliki perbedaan dan tiap orang beriman memiliki doktrin, cara, dan komitmen emosional dengan Tuhan yang dia yakini. Perbedaan keyakinan itu mestinya membuat seseorang lebih mendalami agamanya dan menunjukkan hidupnya menjadi baik dan lebih baik daripada yang lain. Jadikan perbedaan sebagai dorongan untuk menunjukkan yang terbaik dari agamanya dalam kehidupan sehari-hari.

Yang mempertemukan beragam agama dengan perbedaannya itu antara lain komitmennya untuk menegakkan kebaikan, kejujuran, keindahan, kedamaian, dan kesejahteraan bagi masyarakat. Lebih dari itu, apa pun agama dan identitas etnisnya, kita adalah sama-sama warga negara Indonesia. Mari kita jadikan aset moral dan tradisi agama untuk menjaga keutuhan bangsa dan memakmurkannya. Janganlah tradisi dan semangat beragama malah merusak keutuhan dan kedamaian
hidup berbangsa dan bernegara.

Pengalaman bergaul lintas iman dan agama justru mendorong saya lebih memahami agama saya dan sedikit-banyak mengetahui tradisi agama yang berbeda. Perbedaan ternyata tidak menghalangi untuk menjalin persahabatan. Bahkan saling menghormati dan sekali-sekali saling bercanda dan menertawakan kelucuan-kelucuan praktek beragama masing-masing.

Jadi sikap kritis dalam belajar agama itu sangat diperlukan untuk memperkokoh iman dan memperluas pengetahuan, namun sebaiknya tidak untuk bahan perdebatan mencari menang-kalah. Setiap agama memiliki doktrin yang nalar tak akan sanggup menjangkaunya, cukup disikapi dengan iman. Nalar membangun argumen, namun akhirnya yang menentukan adalah pilihan dan respons iman. Wilayah agama akhirnya sangat pribadi, lalu meluas ke wilayah komunal, sementara ranah birokrasi
pemerintah dan ruang publik yang memiliki tugas dan kewenangan mengatur adalah negara, bukan institusi agama.

*)Komaruddin Hidayat, Mantan Rektor UI Syarif Hidayatullah
Pernah dimuat di Koran Tempo, 21 Agustus 2011