FEATURE: Buka yang Manis di Kisah Pahit Kampung Akuarium  

Editor

Juli Hantoro

Warga Kampung Akuarium yang mengungsi di perahu, makan siang di dekat Luar Batang, 15 April 2016. Mereka tinggal di perahu sejak Pasar Ikan Luar Batang dan sekitarnya digusur pada Senin (11/04) lalu. TEMPO/Rezki Alvionitasari
Warga Kampung Akuarium yang mengungsi di perahu, makan siang di dekat Luar Batang, 15 April 2016. Mereka tinggal di perahu sejak Pasar Ikan Luar Batang dan sekitarnya digusur pada Senin (11/04) lalu. TEMPO/Rezki Alvionitasari

TEMPO.CO, Jakarta - Siti Fatimah, 25 tahun, sibuk mengaduk es cincau buatannya sore itu. Sementara anaknya, Siti Maulida, 4 tahun, bergelayut di punggung sembari memainkan rambut ibunya. Dia sedang menyiapkan menu berbuka puasa untuk suami dan anaknya di Kampung Aquarium, penjaringan, Jakarta Utara.

Es cincau buatan Siti berbeda dari es cincau pada umumnya. Biasanya es cincau dibuat menggunakan gula pasir atau air santan. Tapi, di tangan Siti, cincau hitam ia campur dengan es batu dan susu sumbangan dari para relawan Kampung Akuarium, Penjaringan, Jakarta Utara. "Mau gimana lagi, gulanya habis," kata Siti saat ditemui pada Senin petang, 6 Juni 2016.

Hanya hidangan itu yang ia buat untuk keluarganya. Dia juga tak memasak saat itu. Tidak ada nasi, atau lauk-pauk di rumahnya. Siti hanya tercekat saat ditanya alasannya tak memasak. Matanya mulai terkaca-kaca.

Tapi sebelum air matanya jatuh, sang suami, Santani, 36 tahun, mencairkan suasana dengan bercanda dengan anaknya. "Nda, rumahnya diapain?" kata dia bertanya pada anaknya. "Digusur sama Ahok (Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama)," kata Maulida yang disambut gelak tawa ibu dan ayahnya.

"Pakai apa gusurnya?" tanya Santani lagi. "Pakai backhoe." Santani kemudian memeluk dan menyuruh putrinya untuk duduk di pangkuannya. "Silahkan diminum mas es cincaunya," kata Santani mempersilakan Tempo untuk bergabung berbuka puasa.

Siti pun menyahut dan menceritakan saat anaknya melihat penggusuran di Kampung Akuarium dua bulan lalu. Putri semata wayangnya itu meronta-ronta kepada petugas agar rumahnya tidak digusur. Tangis Siti pun pecah menceritakan momen-momen itu.

Menurut Siti, rumah itu adalah harta satu-satunya milik keluarga mereka. Rumah itu diberi oleh orangtuanya di saat Siti dan Santani menikah. Saat ini rumah itu telah rata dengan puing bebatuan. Dia sudah tahu bakal tinggal di mana lagi selain di Kampung Aquarium.

Apalagi pendapatan Santani sebagai kepala rumah-tangga sangat cekak. Dalam sehari ia hanya mampu mendapatkan Rp 75 ribu dari hasil kerja sebagai kuli bangunan. Uang itu biasanya habis untuk tiga orang selama sehari, bahkan sering kurang.

Karena itu mereka menolak untuk diajak Pemerintah DKI Jakarta untuk pindah ke rumah susun Marunda, Jakarta Utara. Dalam sebulan, kata dia, biaya sewa rusun mencapai Rp 500 ribu. Jumlah itu belum ditambah dengan biaya pengeluaran listrik dan air bersih. Sementara pendapatan Santani telah habis untuk makan sehari-hari.

Sejak seminggu terakhir mereka tinggal di sebuah gubuk seluas 1,8 x 2 meter persegi. Gubuk itu dibuat Santani memanfaatkan sisa-sisa barang bekas gusuran. Dia dan istrinya mengumpulkan barang bekas mulai dari triplek, kayu, terpal, esbes, dan bambu. Sebelumnya mereka tinggal di atas perahu nelayan bersama orangtuanya.

Nasib seperti keluarga Santani hampir dirasakan oleh seluruh warga di Kampung Akuarium. Mereka kehilangan harta-bendanya. Rumah senilai ratusan juta rupiah hilang dalam sesaat. "Makanya Ramadan tahun ini begitu berbeda dibanding tahun sebelumnya," kata dia.

Komarudin, 28 tahun, warga Kampung Akuarium lain juga mengaku kehilangan rumah senilai Rp 200 juta. Dia tinggal bersama kedua orangtuanya di atas perahu sejak April lalu. Tapi karena kondisi orangtuanya semakin menua, Komarudin membuatkan tempat tinggal sementara berupa bedeng. Bangunan itu setinggi 1,5 meter dan seluas 2 meter persegi. Gubuk sementara itu ia buat dari hasil mengais kayu dan terpal bekas gusuran.

Pemerintah DKI Jakarta akhir-akhir ini memang getol untuk mengusur lahan milik pemerintah yang dihuni warga. Gubernur Ahok juga berencana untuk menggusur kampung Luar Batang setelah Lebaran atau paling lambat akhir tahun. Pemerintah mengklaim tak memberi ganti rugi karena telah menyediakan rumah susun sewa.

Tahun ini, kata Ahok, Pemerintah DKI telah membangun sedikitnya 25 ribu rumah susun. Tahun depan dia juga akan membangun 50 ribu rusun untuk warganya. "Soal penggusuran, tidak ada dilema (bagi saya)," kata Ahok saat diskusi bersama Najwa Shihab di Stadion Gelora Bung Karno pada Sabtu, 4 Juni 2016 lalu.

Menurut Ahok, justru akan menjadi dilema jika warga tidak segera dipindah ke rusun. Dia mencontohkan dengan yang terjadi di kawasan Pluit. Banyak rumah warga yang terendam banjir air laut karena menetap di kawasan dataran rendah. "Di sana ada 12 ribu warga, kalau tidak segera dipindah orang bisa mati," kata dia.

AVIT HIDAYAT