TEMPO.CO, Makassar - Merayakan Lebaran jauh dari tanah kelahiran tak membuat para pengungsi Rohingya yang ditampung di Makassar, Sulawesi Selatan, tak larut dalam sajian kuliner di daerah perantauan mereka itu.
Setiap kali Lebaran tiba, mereka rela bersusah payah menyajikan santapan khas dari negara asal mereka. Di antaranya semaai, luri pira, chotkki, dan goru ghusto.
Salah seorang pengungsi Rohingya, Mohammad Alam, 40 tahun, mengatakan biasanya mereka membutuhkan waktu satu bulan untuk mempersiapkan sajian khas itu. Semuanya dilakukan secara bersama-sama di tempat penampungan mereka di Pondok Merah, Jalan A.P. Pettarani III, Makassar.
"Kalau makan santapan khas itu, kami ingat kampung. Itu bisa mengobati sedikit kerinduan kami di momen Idul Fitri," ujar Alam saat ditemui Tempo di Pondok Merah, Makassar.
Alam mengakui sebagian besar pengungsi Rohingya belum beradaptasi dengan makanan Nusantara. Makanan seperti opor ayam dan sate tidak begitu cocok dengan lidah mereka.
Santapan khas ala pengungsi Rohingya mempunyai tingkat kesulitan berbeda-beda dalam pembuatannya. Rata-rata penganan itu memiliki rasa yang manis.
Semaai, misalnya, yang terbuat dari bihun yang digoreng kemudian dicampur gula, kelapa, susu, kacang tanah, dan kismis.
Sedangkan luri pira merupakan penganan yang terbuat dari tepung beras yang diproses menjadi semacam roti. Lalu roti tersebut dipanggang bersama sambal daging. Adapun goru ghusto merupakan daging sapi yang dimasak kari.
Dari beragam makanan khas Rohingya itu, menurut Alam, yang paling sulit dibuat adalahchotkki. Sebab tepung beras harus diolah menjadi semacam mi atau bihun. Lalu diolah seperti halnya semaai.
Tapi tidak berarti semua kuliner Nusantara tidak disantap pengungsi Rohinya. Mereka lebih memilih ayam goreng, nasi goreng, dan mi goreng. Makanan itu lebih terasa enak di lidah mereka dibanding makanan khas Indonesia lain.
TRI YARI KURNIAWAN