Kisah Pilu Pengungsi Rohingya Rayakan Lebaran tanpa Keluarga

Etnis Rohingya menikmati kari daging dan roti fira saat merayakan Idul Fitri 1436 H di asrama penampungan, Makassar, Sulawesi Selatan, 17 Juli 2015. Kelompok etnis minoritas dari Myanmar itu mulai tinggal di Makassar sejak tahun 2011. TEMPO/Iqbal Lubis
Etnis Rohingya menikmati kari daging dan roti fira saat merayakan Idul Fitri 1436 H di asrama penampungan, Makassar, Sulawesi Selatan, 17 Juli 2015. Kelompok etnis minoritas dari Myanmar itu mulai tinggal di Makassar sejak tahun 2011. TEMPO/Iqbal Lubis

TEMPO.CO, Makassar - Lebaran merupakan momen bahagia bagi umat muslim. Hari Kemenangan umat Islam itu identik dengan acara silaturahmi. Tak heran di Indonesia, dikenal yang namanya tradisi mudik. Semua itu dilakukan agar dapat berkumpul dengan keluarga maupun sanak saudara. Lebaran seperti itulah yang juga diimpikan para pengungsi Rohingya di Makassar, tapi tak pernah mampu diwujudkan.

"Kami senang dapat melaksanakan salat Idul Fitri. Tapi, kami juga selalu bersedih karena ingat keluarga. Selalu ada kerinduan untuk kumpul bersama," kata Mohammad Alam, 40 tahun, saat ditemui Tempo di salah satu tempat pengungsian Rohingya di Pondok Merah, Jalan AP Pettarani III, Lorong Masale, Kecamatan Panakkukang, Makassar, Senin, 20 Juli.

Selama itu pula, Alam menyampaikan dirinya tak pernah lagi bertemu dengan kedua orang tuanya dan empat saudaranya. Kendati sekarang bisa merayakan Lebaran tanpa penindasan, dia mengaku selalu rindu dengan keluarganya.

Lebaran kali ini, Alam hanya merayakannya bersama dengan dua anaknya, Nur Aziza, 13 tahun, dan Mohammad Khubaef, 8 tahun. "Istri saya meninggal di Malaysia," ujarnya. Alam dan dua anaknya melaksanakan salat Idul Fitri di Masjid Muhajirin, tidak jauh dari Pondok Merah. Selepas itu, mereka kembali ke tempatnya dan berkumpul dengan para pengungsi Rohingya lain untuk saling meminta maaf.

Tak ada aktivitas khusus yang dilakukannya dalam merayakan Lebaran. Hanya, bila Lebaran tiba, dirinya bersama pengungsi Rohingya lain, mempersiapkan makanan khas tanah kelahirannya. Di antaranya, Semaai (bihun yang digoreng dan dimasak dengan campuran gula, kelapa, susu, kismis, dan kacang tanah) dan Goru Ghusto (daging sapi yang dimasak kari).

Di samping itu, makanan favorit lainnya selama Lebaran yakni Luri Pira (tepung beras yang dibuat menjadi roti yang selanjutnya dipanggang bersama sambal daging) dan Sutki (tepung beras yang dibuat menjadi semacam mi. Olahannya mirip dengan Semaai). "Itu (Sutki) yang paling susah dibuat. Kami harus persiapkan paling tidak satu minggu," tuturnya.

Alam mengatakan guna menghibur dirinya, dia dan kedua anaknya pergi jalan-jalan ke Pantai Losari. Tak hanya itu, ia juga mengunjungi beberapa lokasi tempat pengungsian Rohingya lain untuk sekadar bersilaturahmi. Toh, tidak mungkin dirinya akan kembali ke tanah kelahirannya, di mana dirinya tak lagi diakui sebagai warga negara.

Kerinduan serupa dirasakan Abdul Gani, 24 tahun, pengungsi Rohingya lainnya, yang mengaku Lebaran tidak menjadikan dirinya bahagia. Begitu pula dengan acara kumpul dan makan bersama pengungsi Rohingya lainnya. "Itu tidak bisa menghilangkan kerinduan dan kesusahan hati. Jadi, saya ya hanya melaksanakan kewajiban menjalankan ibadah (salat Idul Fitri)," kata dia.

Abdul mengaku sebenarnya telah membuat rencana menghilangkan kerinduannya dengan sengaja mengikuti salat Idul Fitri di Masjid Al-Markaz Al-Islami. Harapannya, dengan beribadah di masjid terbesar di provinsi ini, dirinya akan merasa bahagia karena telah merayakan Hari Kemenangan bersama ribuan umat Islam, yang di negara asalnya tak mungkin bisa dilakukannya. "Tapi, tetap saja rindu sama keluarga," ucapnya.

TRI YARI KURNIAWAN