Masjid Ini Dipercaya sebagai Peninggalan Pangeran Diponegoro

Abdul Karim, dan Al Qur'an raksasa ukuran 1,5 x 2 meter karyanya, yang akan diwakafkan ke Masjid Baiturahman, Banyuwangi (12/8). TEMPO/Ika Ningtyas
Abdul Karim, dan Al Qur'an raksasa ukuran 1,5 x 2 meter karyanya, yang akan diwakafkan ke Masjid Baiturahman, Banyuwangi (12/8). TEMPO/Ika Ningtyas

TEMPO.COMojokerto - Masjid Baiturrahmah di Desa Pesanggrahan, Kecamatan Kutorejo, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, dipercaya sebagai masjid yang berhubungan dengan sejarah pejuang pengikut Pangeran Diponegoro, yang melawan penjajah Belanda tahun 1825-1830.

Masjid ini dulu diberi nama Masjid Madijo Poero. Ini dibuktikan dengan prasasti dari papan kayu berbahasa Jawa kuno tanda pembangunan masjid yang terpasang di tembok masjid. Dalam prasasti dijelaskan bahwa tiang masjid didirikan pada Ahad, 12 Juni 1892 Masehi, atau 16 Dzulqo’dah 1392 Hijriah. Pada bagian lain juga tampak prasasti nama pejabat kala itu yang meresmikan masjid, yakni Raden Adipati atau Bupati Mojokerto Kromo Djoio Adi Negoro.

Baca juga:
Budi Waseso: Buya Syafii Jangan Campuri Hukum
Bagaimana Skenario Awal Pembunuhan Angeline? Ini Cerita Arist Merdeka

Menurut Kepala Desa Pesanggrahan Mohamad Afif, berdasarkan cerita turun-temurun dari sesepuh desa, sebelum dibangun jadi masjid tahun 1892, konon di tempat tersebut semula terdapat batu besar yang dulu digunakan pejuang pengikut Pangeran Diponegoro sebagai tempat salat dan peristirahatan atau pesanggrahan.

Mereka beristirahat dalam perjalanan menuju arah timur Pulau Jawa. “Konon dulu ada batu besar yang digunakan pengelana dan salah satunya murid Pangeran Diponegoro untuk tempat istirahat dan salat,” katanya, Rabu, 15 Juli 2015.

Selain batu besar, di tempat tersebut dulu terdapat pohon tanjung, salah satu ciri khas pohon yang ditanam pengikut Diponegoro, selain pohon sawo kecik. Pohon tersebut sengaja ditanam sebagai tanda bahwa tempat tersebut pernah disinggahi pengikut Diponegoro.

Pohon tanjung memiliki bunga yang mengeluarkan bau harum. Buah, daun, dan kulit akarnya bisa dijadikan obat-obatan. Namun batu besar dan pohon tanjung tersebut kini sudah tak ada.

Kemudian dibangunlah surau atau musala. Dan, pada tahun 1892, dibangun jadi sebuah masjid. Afif mengatakan masjid kuno ini telah mengalami perbaikan besar-besaran sebanyak dua kali. Namun sejumlah ornamen dan bangunan yang kuno tetap dipertahankan, di antaranya empat tiang masjid, menara setinggi 30 meter, ukiran kayu di tempat imam salat, kolam tempat air wudu, serta sumur tua.

“Sekitar tahun 1960 dilakukan perombakan, tapi sejumlah bagian bangunan kuno tetap dipertahankan, termasuk empat tiang masjid,” ujar Afif.

Menara setinggi 30 meter tersebut dulu digunakan sebagai tempat muazin mengumandangkan azan, tapi kini tidak difungsikan karena tangga kayu di dalam menara sudah rapuh. Masjid tersebut dibangun di atas tanah wakaf seorang bangsawan, Raden Mas Ngabehi Tirtodiharjo. Makam Tirtodiharjo dan keturunannya berada di kebun pohon jati di samping masjid.

Kini, masjid tersebut jadi kebanggaan warga sekitar dan sehari-hari digunakan untuk salat lima waktu serta pengajian, termasuk pada bulan Ramadan.

ISHOMUDDIN