Cari Berkah di Makam Syekh Djumadil Kubro, Leluhur Para Wali

Makam Djumadil Kubro di Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur, ramai peziarah saat Ramadan. TEMPO/Ishomuddin
Makam Djumadil Kubro di Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur, ramai peziarah saat Ramadan. TEMPO/Ishomuddin

TEMPO.CO, Mojokerto - Mojokerto selama ini dikenal sebagai daerah peninggalan benda bersejarah. Sebut saja di Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur. Di kota ini, selain situs-situs bersejarah peninggalan budaya Majapahit, terdapat juga situs makam Islam zaman Kerajaan Majapahit pada abad ke-13 hingga 15 Masehi.

Kompleks pemakaman Islam zaman Majapahit itu berada di daerah Tralaya yang kini berada di Dusun Sidodadi, Desa Sentonorejo, Kecamatan Trowulan. Dari puluhan makam yang ada, yang paling dikenal dan dikeramatkan adalah makam Syekh Djumadil Kubro.

Menurut keterangan dari berbagai sumber, Djumadil Kubro merupakan salah satu Wali Sanga atau wali sembilan generasi pertama yang mendapat misi dari Kesultanan Turki di abad ke-14 Masehi. Beliau termasuk sesepuh dari wali sanga generasi kedua yang berdakwah di abad ke-15 dan 16 Masehi.

Karena pengaruh kepercayaan animisme dan dinamisme Hindu dan Buddha yang kuat, khususnya di Jawa, Kesultanan Turki mengirim sembilan ulama asal Timur Tengah, Asia, dan Afrika untuk menyebarkan Islam di Jawa. Salah satunya Syekh Jamaluddin al-Husain al-Akbar, yang kemudian oleh orang Jawa disebut Syekh Djumadil Kubro.

Djumadil Kubro disebut-sebut berasal dari Kota Samarkhand, Uzbekistan, dan masih cucu ke-18 dari Nabi Muhammad dari jalur putri nabi, Fatimah Az Zahra. Djumadil Kubro ditugaskan berdakwah sambil berdagang di Trowulan, ibu kota Kerajaan Majapahit.

Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Trowulan Aris Soviyani meyakini bahwa Syekh Djumadil Kubro dimakamkan di Trowulan, tepatnya di pemakaman Tralaya. Ini dibuktikan dengan nisan-nisan makam bercorak Islam meski tidak ada inskripsi yang menyebut nama yang dimakamkan.

“Dari yang saya pelajari, beliau lama tinggal di Trowulan. Cara berdakwahnya damai dan santun, sehingga bisa diterima kalangan Istana Majapahit,” kata Aris, Rabu, 15 Juli 2015.

Djumadil Kubro memiliki tiga putra yang juga berdakwah menyebarkan agama Islam di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Dari ketiga anaknya, lahir cucu dan cicit yang jadi Wali Sanga generasi kedua, di antaranya Sayyid Ali Rahmatullah atau Raden Rahmat (Sunan Ampel), Sunan Giri (Raden Paku), Sunan Bonang, Sunan Drajad, dan Sunan Kudus.

Makam Syekh Djumadil Kubro ramai dikunjungi peziarah utamanya di hari Jumat manis atau Jumat Legi dalam hitungan kalender Jawa. Termasuk di bulan Ramadan, ratusan bahkan ribuan peziarah datang.

“Saya hampir seminggu sekali berziarah untuk mencari berkah melalui doa dengan perantara ulama alim seperti Syekh Djumadil Kubro,” kata salah satu peziarah, Barun.

Selain makam Djumadil Kubro, di Tralaya juga terdapat makam keturunan dan pengikut Djumadil Kubro antara lain Syekh Abdul Kadir Djaelani Sini, Syekh Maulana Sekah, dan Syekh Maulana Ibrahim. Nisan makam Djumadil Kubro dan keturunan serta pengikutnya itu terbuat dari batu andesit dengan pahatan kutipan ayat-ayat Al Qur’an yang berisi tentang peringatan kematian.

Di kompleks pemakaman Tralaya yang luasnya sekitar 2 hektar itu juga terdapat sejumlah makam dan petilasan keluarga dan pejabat Kerajaan Majapahit yang dipercaya telah masuk Islam. Ini dibuktikan dengan pahatan lambang Surya Majapahit dan lafad tauhid (Laa Ilaaha Illallah) pada nisan sejumlah makam yang terbuat dari batu andesit.

ISHOMUDDIN