Gowes Mudik, Pulang Kampung Bersepeda Sampai Yogyakarta

Vidi Widyastomo (kiri) dari Federal Jakarta dan 4 pesepeda lainnya yang tergabung dalam kelompok 'Gowes Mudik', berpose saat mudik ke kampung halaman melintasi jalur utara, Palimanan, Cirebon, 12 Juli 2015. Walau menggenjot sepeda ratusan kilometer, para pencinta sepeda tersebut tetap menjalankan ibadah puasa. Fedjaks/Vidiwidi
Vidi Widyastomo (kiri) dari Federal Jakarta dan 4 pesepeda lainnya yang tergabung dalam kelompok 'Gowes Mudik', berpose saat mudik ke kampung halaman melintasi jalur utara, Palimanan, Cirebon, 12 Juli 2015. Walau menggenjot sepeda ratusan kilometer, para pencinta sepeda tersebut tetap menjalankan ibadah puasa. Fedjaks/Vidiwidi

TEMPO.CO, Jakarta - Bagi sekelompok pekerja Jakarta itu, mudik dengan pesawat, kapal laut, kereta, bus, dan kendaraan pribadi terlalu mainstream. Mereka memilih pulang kampung dengan menggowes sepeda. Paling dekat ke Cirebon, menempuh perjalanan sekitar 300 kilometer, dan ada juga yang sampai Madiun, lebih dari 700 kilometer. "Dibilang gila, memang kami gila bersepeda," kata Vidi Widyastomo, 41 tahun, seperti ditulis Koran Tempo, Selasa, 14 Juli 2015

Saat dihubungi kemarin, dia berada di Pemalang. Bersama empat kawannya, Vidi beranjak dari tempat berkumpul komunitas Bike to Work di Senayan, Jakarta Pusat, Jumat malam lalu. Mereka telah menempuh jarak sekitar 350 kilometer, melewati Bekasi dan Cirebon. Vidi harus menempuh jarak sekitar 250 kilometer lagi untuk mencapai kampung halamannya di Yogyakarta.

Mereka menempuh jalur yang sama dengan pemudik bersepeda motor. "Sehingga mudah mendapatkan tempat makan dan istirahat," ujar Vidi, yang memanfaatkan masjid dan pos istirahat untuk rehat dan bermalam. Isi tasnya tidak banyak, hanya pakaian, alat mandi, toolkit, dan ban dalam cadangan.

Menurut hitung-hitungan Vidi, seorang pesepeda bisa menempuh jarak 150 kilometer per hari. Dengan kecepatan 15 kilometer per jam, mereka butuh mengayuh selama 10 jam per hari. Masalah terbesar untuk mencapai target itu adalah daya tahan tubuh. Meski Islam membebaskan musafir dari kewajiban berpuasa, Vidi dan kawan-kawan terus berpuasa. Jadi mereka mengirit tenaga dan cairan badan. "Setiap pukul 11.00 sampai 14.00, waktu matahari panas-panasnya, kami istirahat," katanya.

Urusan dehidrasi ini yang membedakan antara gowes mudik—demikian mereka menyebut kegiatannya—dan touring. Sebulan sekali, Vidi bersepeda jarak jauh, sampai 180 kilometer. "Kalau tidak puasa, jarak segitu tidak masalah, karena bisa minum terus," ujar warga Cibubur yang saban hari menempuh jarak 40-an kilometer pergi-pulang kantor di SCBD dengan sepeda ini. "Makanya untuk mudik, kami lebih santai."

Toh, mereka tidak memasang target waktu. "Yang penting, Idul Fitri di kampung halaman." Lebaran tahun lalu, dia membutuhkan waktu lima hari untuk mencapai Yogyakarta.

Di rombongan lain, ada Ratna Dewi, 45 tahun, yang sama gilanya. Pemilik apotek ini menggenjot pedal dari Depok, Jawa Barat, sampai Blora, Jawa Tengah. Saat dihubungi, dia berada di Tegal. "Kira-kira butuh lima hari untuk sampai," ujarnya.

Di balik kegilaan mereka, ada kampanye terselubung. Mereka ingin bersepeda dikenal sebagai kegiatan yang menyenangkan, sehat, dan bisa mengantar kita ke mana saja. "Yang jauh seperti mudik saja bisa, apalagi dekat," kata Vidi. Tidak perlu juga memilih sepeda mahal, Vidi mengandalkan Federal produksi awal 1990-an. "Cuma perlu niat dan dengkul."

REZA MAULANA | NUR ALFIYAH