Tetap Ceria Mudik dengan Sepeda Motor

Editor

Zed abidien

Anggota Polisi Wanita (Polwan), membagikan peta mudik kepada pengendara sepeda motor yang melintasi, di kawaasan Bundaran HI, Jakarta, 26 Juni 2015. TEMPO/Imam Sukamto
Anggota Polisi Wanita (Polwan), membagikan peta mudik kepada pengendara sepeda motor yang melintasi, di kawaasan Bundaran HI, Jakarta, 26 Juni 2015. TEMPO/Imam Sukamto

TEMPO.COSemarang - Suara sound system mini yang terpasang pada sepeda motor 100 cc milik Riyono terdengar keras saat melintas di jalan raya Pantai Utara Kota Semarang di kawasan Jrakah. Aneka lagu yang terdengar silih berganti, yang tersambung dari ponsel, seakan ikut menghibur laju kendaraan lain yang berpacu bersama dirinya. Lelaki asli Kabupaten Pati itu sengaja melengkapi sepeda motor yang digunakannya mudik dengan sound system yang dimodifikasi dengan tenaga listrik dari aki kendaraannya.

“Biar tak ngantuk, makanya sengaja kupasang,” kata Riyono saat berbincang dengan Tempo, Ahad, 12 Juli 2015.

Lelaki 41 tahun itu menjelaskan perjalanan mudiknya dengan sepeda motor saat beristirahat di sebuah trotoar Jalan Siliwangi, Semarang, tepatnya di depan makam Belanda. Ia sengaja menepi setelah berebut jalan sejak di pertigaan Jrakah, Semarang. “Tak perlu ngebut, yang penting selamat,” ujar Riyono.

Riyono telah melakukan perjalanan mudik dari kawasan Cikini, Jakarta pusat, bersama istrinya—yang ia panggil mamah—serta Wajayana, anaknya yang baru berusia 11 bulan. Tujuannya adalah Kota Solo, yang kemudian dilanjutkan ke Kabupaten Pati setelah Lebaran nanti.

Bagi keluarga Riyono, mudik dengan sepeda motor yang dimodifikasi dengan perangkat suara mini merupakan kebahagiaan tersendiri. Ia mengaku kegiatan itu telah dilakukan setiap tahun menjelang Lebaran.

Bagi Riyono dan istrinya, mudik dengan sepeda motor lebih hemat dibanding naik bus. “Satu tiket bus harus Rp 400 ribu, kereta Rp 600 ribu yang eksekutif, kalau ditotal bisa mencapai jutaan,” tuturnya.

Perbedaan yang jauh mahal dibanding naik sepeda motor itu menjadi alasan Riyono mengangkut anak dan istrinya untuk bersilaturahmi dengan keluarga di kampung. Baginya, mudik menggunakan sepeda motor yang biasa ia gunakan untuk bekerja sebagai tenaga keamanan di rantau itu lebih murah.

Ia hanya mengeluarkan ongkos bahan bakar minyak kurang dari Rp 200 ribu, sedangkan untuk konsumsi bisa dihemat makan di kaki lima sekitar Rp 100 ribu. “Toh, motor ada fungsinya bisa buat keliling di kampung. Meski di rumah ada, tak enak pinjam milik saudara,” Riyono beralasan.

Pakar transportasi publik Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, Djoko Setijowarno, menilai mudik dengan sepeda motor seperti yang dilakukan Rriyono sebenarnya melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 tentang angkutan jalan. “Di situ ada aturan pengguna motor tak lebih dari dua orang dan membawa anak-anak,” ucap Djoko.

EDI FAISOL