Cerita Awal Aceh Dijuluki Serambi Mekah

Makam Sayyid Abubakar atau Tgk Di Anjong bersama Istrinya, terletak di samping Masjid yang dibangunnya pada 1769. Aceh, 10 Juli 2015. TEMPO/Adi Warsidi
Makam Sayyid Abubakar atau Tgk Di Anjong bersama Istrinya, terletak di samping Masjid yang dibangunnya pada 1769. Aceh, 10 Juli 2015. TEMPO/Adi Warsidi

TEMPO.COBanda Aceh - Masjid Tgk Di Anjong, terletak di Desa Pelanggahan, Banda Aceh, menyimpan sejarah panjang. Masjid yang pernah rata diamuk tsunami itu kemudian dibangun lagi mengikuti pola bangunan lama, tanpa kubah tapi atap bertingkat.

Memasuki halaman masjid, ada sebuah tugu di bagian kanannya, berisikan ratusan korban tsunami di desa itu. Di bagian samping lainnya ada bangunan yang di dalamnya berisi malam Tgk Di Anjong bersama istri, pendiri masjid itu dulu. “Ini makam beliau, banyak yang ziarah kemari bahkan dari luar negeri,” kata Bustami, juru makam, kepada Tempo, Kamis, 9 Juli 2015.

Menurut Bustami, masjid itu dulunya dibangun Tgk Di Anjong yang bernama asli Sayyid Abubakar pada 1769 Masehu. Beliau ulama pengembara dari Hadramaut, Yaman, yang ditugaskan menyebar Islam di Asia Tenggara. Ia kemudian menetap di Aceh pada masa kepemimpinan Sultan Alaudin Mahmud Syah (1760-1781).

Beliau ulama tasawuf dan ahli fikih yang sangat dimuliakan umat. Ia banyak menghabiskan waktu untuk beribadah dan berzikir di anjungan masjid. Dari sinilah dia dijuluki Teungku di Anjong.

Masjid itu awalnya dibangun berkonstruksi kayu. Masjid ini memiliki tiga lantai untuk menggambarkan tiga nilai dasar Islam; lantai pertama disebut hakikat, lantai kedua tarekat, dan ketiga makrifat. Tsunami telah membuat masjid hancur dan dibangun kembali dengan konstruksi beton yang persis mirip. Hanya lantai dasar yang kemudian difungsikan untuk beribadah. “Kitab-kitab beliau yang tersimpan di lantai atas masjid hilang saat tsunami. Juga benda peninggalan lainnya,” ujar Bustami.

Makam Tgk Di Anjong dan istrinya juga sempat terendam air. Namun nisan dan ukiran di atas makamnya masih utuh. Istrinya juga berasal dari Yaman, bernama Syarifah Fathimah binti Sayid Abdurrahman Al Aidid atau Aja Eusturi.

Dalam banyak kisah, masjid itu menjadi cikal bakal Aceh disebut Serambi Mekah. Sebabnya, Tgk Di Anjong, selain membangun masjid, juga membangun pesantren di lokasi tersebut. Pesantren memakai rumahnya dan menjadi tempat pemondokan santri yang ingin belajar dari seluruh Nusantara sampai Malaka.

Dayah juga menjadi pusat manasik haji bagi jemaah dari berbagai daerah kala itu. Aceh yang strategis menjadi tempat singgah kapal-kapal pengangkut jemaah haji, sebelum meneruskan pelayaran ke Tanah Suci. Di Pelanggahan-lah para calon jemaah haji belajar sebulan dan dibimbing Tgk Di Anjong. “Sebelum ke Mekah, belajar dulu di serambi, begitulah ibaratnya.”

Tgk Di Anjong wafat pada bulan suci, tepatnya pada 14 Ramadan 1100 Hijriah atau sekira 1782 Masehi. Sepeninggal beliau, aktivitas dayah dan masjid tetap berjalan diteruskan oleh murid-muridnya. Ketika Belanda masuk ke Aceh pada 1873, dayah dan masjid ini menjadi basis pejuang Aceh dalam melawan penjajah.

Bustami mengatakan warga banyak yang berziarah ke sana, melepas haul dan menggelar kenduri. “Kalau dari luar negeri, paling banyak dari Malaysia. Ada juga dari Singapura, bahkan dari Yaman,” ucapnya.

ADI WARSIDI