Indahnya Toleransi, Masjid dan Gereja Ini Berbagi Tembok  

Editor

Zed abidien

Masjid Cipari dengan arsitektur Eropa yang mirip dengan gereja di Pangatikan, Garut, Jawa Barat, 15 Juli 2014. Masjid tersebut dibangun pada 1895 dan diresmikan oleh HOS Cokroaminoto pada tahun 1936. TEMPO/Prima Mulia
Masjid Cipari dengan arsitektur Eropa yang mirip dengan gereja di Pangatikan, Garut, Jawa Barat, 15 Juli 2014. Masjid tersebut dibangun pada 1895 dan diresmikan oleh HOS Cokroaminoto pada tahun 1936. TEMPO/Prima Mulia

TEMPO.CO, Kendari - Ada pemandangan yang cukup unik di Jalan Ir. Soekarno, yang berada di kawasan Dapu-dapura, Kecamatan Kandai, atau di kawasan kota lama, Kendari.

Keunikan itu tak lain adalah dua bangunan rumah ibadah, yakni Masjid Dakwah Wanita dengan simbolnya berupa kubah dan bintang bulan serta Gereja Pantekosta Bukit Zaitun dengan simbolnya berupa salib saling berdempetan. Dua rumah ibadah itu berbagi tembok.

Kedua bangunan yang nyaris satu atap itu sama-sama dibangun tahun 1960-an. Gereja Pantekosta berdiri tiga tahun lebih awal dibandingkan dengan Masjid Dakwah Wanita. Kini setelah 50 tahun lebih, kedua bangunan ini tetap kokoh, berdampingan bagai saudara tanpa pernah terjadi gesekan, apalagi konflik antara kedua umat beragama itu.

Pengurus Masjid Dakwah Wanita Kendari Sulfakri Sidik menuturkan sejak dulu kehidupan antar umat beragama di Kota Kendari sangat harmonis, saling pengertian, dan memahami. Bangunan masjid dan gereja yang hanya dipisahkan tembok tersebut tidak menjadi penghalang bagi jemaah, baik muslim maupun Nasrani untuk menjalankan ibadah masing-masing.

"Setiap penyelenggaraan ibadah, kita selalu berkoordinasi dan saling komunikasi, apalagi di bulan Ramadan seperti ini. Kita tanya ibadah mereka hari apa. Kalau kebetulan waktunya bertepatan dengan ibadah kita, maka pengeras masjid kita kecilkan. Begitu pun sebaliknya. Seperti saat Ramadan sekarang mereka ada kebaktian yang bertepatan dengan tarawih, jadi jadwal kebaktian mereka majukan," ujar Sulfakri.

Pimpinan Jemaat Gereja Pantekosta Bukit Zaitun Pendeta David Agus Setiawan mengakui masyarakat Kota Kendari sangat menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi, terutama dalam kegiatan ibadah. Oleh sebab itu, tak heran jika kedua bangunan rumah ibadah tersebut tetap kokoh berdampingan hingga sekarang.

"Dari dulu juga kita sudah hidup berdampingan tanpa pernah ada rasa saling terganggu. Saat-saat masjid belum lama berdiri, mereka belum punya pompa air sehingga kalau mau wudu agak kerepotan. Karena kami waktu itu sudah punya pompa air, ya silakan ambil selang dan tarik airnya ke masjid," ucap David.

Keharmonisan antara dua umat beragama ini pun, kata David, terlihat saat mereka membersihkan lingkungan sekitar. Jika yang melakukan kerja bakti adalah pihak masjid, maka halaman gereja juga ikut dibersihkan. Begitupun sebaliknya, jika mereka yang mengadakan kerja bakti, maka halaman masjid juga mereka bersihkan.

Namun umat Kristiani, kata David, sempat khawatir saat ada insiden pembakaran gereja di Jawa Timur tahun 1997 menyebar. Kabar itu  sempat menyebar ke Kendari.

Ia mengakui ada rasa khawatir jika gereja mereka akan menjadi sasaran pembakaran, sehingga pihaknya meminta bantuan pengamanan dari kepolisian. Namun yang terjadi, para remaja masjid tanpa pernah diminta justru ikut bergabung bersama petugas kepolisian dan berjaga-jaga di sekitar gereja.

ROSNIAWANTY FIKRI