Jejak Syiar Islam di Kampung Pekojan

Editor

Nur Haryanto

Warga berebut meminta bubur India untuk berbuka puasa di masjid Pekojan, Semarang, 3 Juli 2014. Setiap bulan Ramadhan, Masjid Pekojan menyediakan bubur India sebagai menu buka puasa bagi warga dan para mushafir. Tempo/Budi Purwanto
Warga berebut meminta bubur India untuk berbuka puasa di masjid Pekojan, Semarang, 3 Juli 2014. Setiap bulan Ramadhan, Masjid Pekojan menyediakan bubur India sebagai menu buka puasa bagi warga dan para mushafir. Tempo/Budi Purwanto

TEMPO.CO, Jakarta -  Pekojan di kawasan Kota, Jakarta Barat, mempunyai warna khas. Menyusuri kawasan ini bersama Komunitas Jelajah Budaya--komunitas independen yang peduli terhadap seni, budaya, bangunan tua, serta peninggalan sejarah--pada suatu sore, terlihat di sini ciri-ciri Islam itu begitu melekat. Pekojan memang dikenal sebagai Kampung Arab.

Terdapat Jalan Penjagalan menunjukkan tempat penyembelihan kambing, yang lazim dikonsumsi bangsa Arab. Aktivitas pemotongan itu masih berlangsung sampai kini. Di Kali Angke, tak jauh dari Jalan Penjagalan, jembatan kambing dan kandangnya masih berdiri jembatan, yang digunakan untuk menyeberangkan kambing yang datang dari luar Kampung Arab. Sebelum dibawa ke tempat jagal, kambing ditampung di kandang kambing.

Jejak kedua, Masjid Al-Anshor. Berdiri di atas tanah 1.705 meter persegi, masjid di tengah permukiman padat rumah warga RT 06 RW 04 Pekojan, Tambora, Jakarta Barat, itu merupakan salah satu cikal kedatangan Islam di Jakarta.

Menurut catatan Adolf Heuken S.J., penulis buku Mesjid-mesjid Tua di Jakarta, Masjid Al-Anshor adalah salah satu masjid tertua di Jakarta, walau bangunannya sudah banyak diperbaiki. Menurut Marka, 54 tahun, bendahara masjid itu, awalnya bangunan itu bukan masjid, melainkan musala yang dibangun oleh orang India pada 1648.

Orang India dipercaya sebagai pembawa Islam ke Batavia. Nama Pekojan berasal dari kata "Khoja", daerah di India asal para pedagang. Sayang, keturunan India, kata Marka, sudah tak ada di lingkungan itu. Kata "Khoja" diduga juga berasal dari kain tenun yang biasa dipakai untuk ikat kepala oleh orang-orang Banten.

Sekitar setengah kilometer dari Masjid Al-Anshor, ada masjid Ar-Raudah. Bangunan didirikan pada 1770. Ada pula masjid Azzawiyah yang didirikan oleh Al-Habib Ahmad bin Hamzah Alatas pada abad XIX. Selain masjid, di kawasan ini banyak bangunan rumah penduduk berarsitektur orang Moor. Ciri bangunan itu adalah adanya dua hiasan di ujung atap, yang biasa disebut Memolo.

Jejak yang besar adalah Masjid An-Nawier. Menurut Heuken, masjid ini dirikan pada 1760 oleh Sayid Abdullah bin Husein Alaydrus. Didominasi warna putih dan hijau, bangunan seperti benteng itu masih memiliki keaslian. Bangunan berbentuk L ini berdinding tebal dan memiliki teras yang teduh.

Di dalam masjid, 33 buah tiang. Di terasnya, ada 17 tiang berukuran lebih kecil. Menara setinggi 17 meter juga masih kukuh, dulunya digunakan muazin mengumandangkan azan. Angka-angka itu, kata Ari, melambangkan simbol dalam Islam. Tiang, yang berjumlah 33, melambangkan jumlah tasbih, 17 melambangkan jumlah rakaat dalam sehari, dan enam melambangkan rukun iman.

Di barat masjid itu ada makam Ratu Syarifah Fatimah, yang wafat pada 1752. Selain itu, ada makam Komandan Dahlan. Menurut Heuken, Komandan Dahlan inilah yang merenovasi masjid. Pada 1850, Dahlan memperluas masjid seluas 500 meter persegi.

Saat ini, Masjid An-Nawier memiliki luas 1.500 meter persegi. Komandan Dahlan adalah utusan Kesultanan Banten yang ikut membantu Fatahillah menyerang penjajah di Sunda Kelapa, yang kemudian bermukim di wilayah selatan Pelabuhan Sunda Kelapa dan beranak-pinak di sana. Mungkin karena tradisi menggunakan kepalanya dengan ikatan kain tenun yang disebut Khoja, nama kawasan ini pun menjadi Pekojan.

Jejak lain adalah Langgar Tinggi yang didirikan pada 1829 oleh Syekh Said Naum, seorang saudagar dari Palembang. Langgar di sisi kali Angke ini berdiri dengan dua lantai membentuk persegi panjang dengan ukuran 8 x 24 meter. Lantai atas digunakan sebagai tempat ibadah. Sedangkan lantai bawah menjadi tempat tinggal pengurus masjid dan kios yang digunakan untuk dagang. Tak terasa, perjalanan sudah sampai waktu magrib. Azan berkumandang, teh manis pun disambut riang.

TEMPO