Masjid Baiturrahman Aceh Tak Goyang Diterjang Tsunami  

Editor

Nur Haryanto

TEMPO/Fransiskus S
TEMPO/Fransiskus S

TEMPO.CO, Jakarta - Kesan megah tak perlu diragukan lagi. Saat kita memandang masjid yang berada di tengah Kota Banda Aceh ini. Apalagi saat senja berganti malam dan lampu-lampu masjid mulai berpendar, kesan agung pun kian terasa.

Masjid Raya Baiturrahman ibarat ikon bagi kota ini. Sebagai salah satu masjid terindah di Indonesia, Masjid Raya Baiturrahman pun sarat nilai sejarah. Masjid yang didesain oleh arsitek berdarah Italia ini menyiratkan perpaduan beberapa gaya. Seperti, gaya kolonial Belanda dan Turki.

Pada awalnya, masjid ini merupakan masjid Kesultanan Aceh. Di zaman Belanda dulu, Baiturrahman pernah dibakar Belanda. Namun di tahun 1875, atau dua tahun sesudahnya, Belanda kembali membangunnya sebagai pengganti masjid yang telah hangus.

Sekitar Desember 1883, dilakukanlah renovasi masjid. Saat itu, desain masjid masih dengan satu kubah. Namun pada 1935 masjid ini dikembangkan menjadi tiga kubah, dan akhirnya memiliki lima kubah pada 1968.

Dahulu, saat pernah dijadikan markas pertahanan Belanda pada Perang Aceh (1873), Mayor Jenderal Kohler tewas tertembak di halaman masjid ini. Dan bekas lokasi penembakan ini diabadikan dengan sebuah monumen kecil.

Masjid dengan halaman yang luas ini memang tak sekadar tempat ibadah bagi masyarakat di serambi Mekah ini. Tapi, sekaligus simbol kehidupan beragama dan nasionalisme rakyat Aceh yang tak bisa lepas dari budaya Islami.

Satu yang juga menjadi kisah menarik di sini, sewaktu tsunami menerjang masjid ini pada 26 Desember 2004, Tuhan seperti sedang menunjukkan kebesaran-Nya. Masjid yang tak jauh dari pantai ini tetap berdiri kokoh, meski tsunami menerjang dan bangunan lain di sekitarnya rata dengan tanah.

TEMPO