Kisah Pembuat Peci Maroko dan Gelombang Cinta di Cianjur

Seorang pengrajin menjahit pola untuk peci di Bogor, Jawa Barat (22/8). Pesanan pembuatan peci di bulan suci Ramadhan 1430 H ini meningkat hingga 80 % . Foto: ANTARA/Arif Firmansyah
Seorang pengrajin menjahit pola untuk peci di Bogor, Jawa Barat (22/8). Pesanan pembuatan peci di bulan suci Ramadhan 1430 H ini meningkat hingga 80 % . Foto: ANTARA/Arif Firmansyah

TEMPO.COCianjur - Kampung Gentur Desa Jambudipa Kecamatan Warungkondang Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, terkenal dengan kerajinan lampu hias yang indah bernama Lampu Gentur. Bahkan pemasarannya pun sudah moncer hingga ke mancanegara.

Kampung ini juga menjadi pusat penghasil beras Pandanwangi. Satu lagi, kampung tersebut juga terkenal sebagai produsen peci. Hampir seluruh rumah di kampung tersebut memproduksi peci berbagai motif dan jenis.

Ujang Fahru, 40 tahun, perajin peci warga Kampung Gentur RT 03 RW 06 adalah salah satunya. Menurut dia, motif peci yang pertama kali dibuat di Kampung Gentur terdiri dari tiga jenis, yaitu Peci Maroko, Thailand, dan Stik Pita (Gelombang Cinta).

"Peci Maroko bentuknya lebih mengerucut pada bagian atasnya dan Peci Thailand atau lebih dikenal dengan peci haji bentuknya lebih membulat. Sedangkan Stik Pita bentuknya seperti Peci Maroko tapi dengan motif pita di sekelilingnya," kata Ujang kepada Tempo di Cianjur, Kamis 25 Juni 2015.

Namun, seiring berkembangnnya zaman, jenis peci semakin bertambah banyak. Motifnya pun kian beragam. Namun tetap terlihat elok saat dikenakan.

Jenis peci baru yang kini mulai populer adalah Peci Oman yang berbahan plastik sintetis di dalamnya dan berukuran lebih tebal. Lalu ada Peci Malaysia yang menggunakan bahan spoon sehingga penggunanya lebih nyaman dan halus.

Ada lagi peci fiber komputer yang bahan dasarnya menggunakan fiber dengan rajutan dari komputer dengan karakteristik peci lebih keras sehingga tidak dapat dilipat.

Dari sekian banyak jenis yang muncul, menurut Ujang, Kampung Gentur tidak memiliki jenis dan motif peci tersendiri. Sehingga nama peci pun diambil dari gabungan negara muslim lainnya.

"Kami tidak punya motif khas, semuanya merupakan kombinasi dari beberapa peci yang berasal dari negara lain," ujar pengusaha yang telah melakoni usahanya selama 20 tahun itu.

Meski demikian, permintaan produksi peci di kampung tersebut, khususnya milik Ujang, terus meningkat setiap tahun Bahkan permintaan lebih tinggi lagi pada tiga bulan menjelang Ramadan.

Menurut dia, dalam tiga bulan tersebut dia bisa menjual hingga 2.000 kodi atau 40 ribu buah peci. Peci tersebut dia pasarkan ke berbagai kota di seluruh Nusantara, mulai dari pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, hingga Sulawesi.

"Kami baru mengirim peci tersebut di dalam negeri, sementara untuk penjualan ke luar negeri biasanya dilakukan oleh pihak grosir," jelasnya.

Dari penjualan peci tersebut, uang dengan nilai ratusan juta rupiah ia kantongi. Namun keuntungan yang melimpah tersebut hanya bisa dapatkan di tiga bulan tersebut. Sedangkan di bulan biasa penjualan kembali merosot.

"Jika bulan biasa hanya sebatas 200 kodi per bulan. Tapi uang yang didapat dari penjulan pada tiga bulan itu sudah lebih dari cukup untuk kebutuhan selama satu tahun," kata dia.

Keterbatasan pengetahuan tentang teknologi, kata dia, juga menjadi hambatan tersendiri pemasaran peci tersebut. Akibatnya hingga saat ini penjulan melalui situs jual beli online ataupun blog belum dicoba oleh para pengusaha tersebut.

"Paling hanya menggunakan broadcast di BBM saja. Itu pun anak saya yang pakai karena saya tidak terlalu mengerti. Memang ada pengaruhnya juga, penjualan menjadi sedikit meningkat," kata dia.

DEDEN ABDUL AZIZ