Kisah Perajin Beduk Bersaing dengan Speaker:Ini Tradisi Wali

Pembuat beduk mengencangkan baut pada sejumlah beduk yang siap dipasarkan di kawasan Grendeng, Tangerang, Banten, (28/7). Menjelang lebaran pesanan beduk meningkat 10 kali lipat. TEMPO/Marifka Wahyu Hidayat
Pembuat beduk mengencangkan baut pada sejumlah beduk yang siap dipasarkan di kawasan Grendeng, Tangerang, Banten, (28/7). Menjelang lebaran pesanan beduk meningkat 10 kali lipat. TEMPO/Marifka Wahyu Hidayat

“Beduk ini adalah tradisi para wali dalam menghidupkan masjid. Meski banyak takmir menggunakan speaker, mereka selalu memukul beduk sebelum azan,” kata Muksin, yang memulai usaha ini sejak 1987.

Menurut dia, terus bertambahnya masjid dan musala, terutama di Tulungagung dan Kediri, membuat ia yakin pesanan akan terus datang. "Jadi, kami tak khawatir," katanya.

Selain itu, ada kepuasan spiritual baginya tiap menyelesaikan satu buah beduk untuk masjid. Setidaknya pekerjaan ini bermanfaat bagi peribadatan umat Islam. Hal inilah yang membuat Muksin tak pernah ragu mempertahankan pembuatan beduk dari tahun ke tahun. "Bahkan tanpa ada pesanan pun, saya tetap membuat satu-dua beduk setiap bulan. Untungnya ada saja yang membeli," ujarnya.

Untuk menarik pelanggan, Imam membuat beduk dengan mengkreasikan motif ukiran pada beberapa bagian. Ukiran ini biasanya mencontoh motif daun dan beberapa motif lain. "Kami juga tetap membuat beduk yang polos dengan harga yang lebih murah," ujarnya.

Namun harga bahan yang terus melonjak menjadi kendala usaha ini. Satu buah kayu gelondongan dengan panjang lingkar 4 meter dipatok pemiliknya seharga Rp 75 juta. Harga kulit sapi mentah dalam kondisi basah dipatok Rp 26 ribu per kilogram. Beduk terkecil dengan diameter 50 cm sepanjang 80 cm dibanderol Rp 3 juta, ukuran sedang dengan diameter 60 cm sepanjang 90 cm dihargai Rp 9 juta, dan ukuran terbesar dengan diameter 1 meter sepanjang 1,6 meter tak boleh kurang dari Rp 25 juta.

IVANSYAH | HARI TRIWASONO