Masjid Kuno Indrapuri Berdiri di Atas Pura

Arsitektur Masjid Tuha Indrapuri di Aceh Besar, 20 Juni 2015. Masjid ini menjadi bukti kuatnya pengaruh Hindu di Aceh, sebelum masuknya agama Islam. TEMPO/Adi Warsidi
Arsitektur Masjid Tuha Indrapuri di Aceh Besar, 20 Juni 2015. Masjid ini menjadi bukti kuatnya pengaruh Hindu di Aceh, sebelum masuknya agama Islam. TEMPO/Adi Warsidi

TEMPO.CO, Banda Aceh - Masjid Tuha Indrapuri adalah sebuah masjid kuno di Desa Indrapuri, Aceh Besar, sekitar 20 kilometer dari pusat kota Banda Aceh. Selain karena usianya, keunikan masjid ini terletak di lokasinya yang berdiri di bekas benteng dan pura. Tempat itu menjadi bukti, kerajaan Hindu pernah jaya di Aceh zaman dulu.

Akhir pekan lalu, Tempo menyambangi masjid itu. Lokasinya di tepi Krueng (sungai) Aceh, dikelilingi kebun kelapa, rambutan, dan mangga.

Bangunan tua itu berdiri kokoh di atas fondasi tinggi yang berkolong-kolong. Fondasi batu berspesi kapur dan tanah liat. Masjid sebagai bangunan utamanya berkontruksi kayu, berdiri tepat di tengah-tengahnya dengan pelataran yang luas. Di depannya ada kolam kecil yang dipakai untuk mencuci kaki.

Muhammad Nur, pengurus Masjid Tuha Indrapuri, mengungkapkan tempat itu adalah cagar budaya yang dilindungi. Menurutnya, masjid kuno itu pada awalnya adalah sebuah pura yang didirikan kerajaan Hindu di Aceh dan menjadi benteng pertahanan. Pura itu kemudian dihancurkan, ketika Islam berkembang.

Di atas reruntuhan itulah Sultan Iskandar Muda (1607-1636) membangun masjid yang diberi nama Masjid Indrapuri pada 1618. Bangunan bergaya punden berundak itu tidak banyak berubah sampai detik ini. “Masjid ini ramai dikunjungi oleh peneliti sejarah,” ujar Muhammad.

Masjid Indrapuri juga menjadi saksi berbagai peristiwa penting sejarah Aceh masa lalu. Di sini, Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah (1884-1903) dinobatkan sebagai Raja Aceh. Ketika Istana Dalam dikuasai Belanda, masjid kuno ini menjadi pusat pemerintahan Kesultanan Aceh sekaligus basis pertahanan pasukan.

Bangunan utama masjid unik dengan kayu dan ukiran. Kayu-kayunya tersusun dari bawah sampai ke atap yang mengerucut mencapai 12 meter. Terdapat 36 tiang penyangga, berikut kuda-kuda penopang atap.

Atap masjid ini yang berbentuk persegi dan mengerucut seperti piramida atau tumpang tersusun tiga, yang tiap susunannya menyisakan celah udara. Berada di dalamnya, hawa sejuk akan terus mengalir dari bagian dinding dan atapnya.

Gaya atap mengerucut tersusun tiga ini diyakini sebagai perpaduan unsur Aceh dan budaya Hindu kuno sebagai corak bangunan masa lalu adalah kekayaan sejarah yang kini mulai dilupakan. “Rata-rata masjid lama di Aceh beratap tingkat,” kata Muhammad.

ADI WARSIDI