Di Tebuireng, Ada Santri Kalong dan Kilatan Selama Ramadan

ilustrasi pekan olahraga santri. kemenag.go.id
ilustrasi pekan olahraga santri. kemenag.go.id

TEMPO.CO, Jombang - Usai salat duhur, sejumlah santri duduk bersila dan berkelompok di lorong-lorong asrama kamar mereka. Sebagian yang lain duduk bersila di lantai masjid. Tak berselang lama, salah satu ustad datang dengan membawa kitab.

Sebelum kitab dibaca terlebih dulu santri membaca doa harapan agar mendapat ilmu manfaat. Kitab berbahasa Arab itu pun dibaca kalimat per kalimat oleh sang ustad dan diterjemahkan dalam bahasa Jawa. Sesekali diselingi bahasa Indonesia. Aktivitas tersebut dapat dijumpai hampir di semua pondok pesantren yang melakukan khataman kitab selama Ramadan termasuk di pondok pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur.

Selain mendengar penjelasan materi kitab, para santri juga memberi makna pada kitab yang mereka pegang dengan pensil khusus yang runcing. Makna yang diberikan berupa kode huruf atau angka yang berhubungan dengan tata bahasa Arab atau Nahwu Saraf. Selain berupa kode, tiap kata yang sulit atau jarang diketahui artinya diberi arti dalam bahasa Jawa yang ditulis dalam huruf Arab atau sering disebut Arab Pegon.

Diantara kerumunan para santri Tebuireng yang mengikui khataman, terdapat sejumlah masyarakat dan santri pendatang yang berburu ilmu melalui khataman kitab.

“Selain santri kami, ada juga masyarakat sekitar yang disebut santri kalong dan santri dari pondok lain yang ikut khataman yang disebut santri kilatan,” kata ustad pengurus pondok Pesantren Tebuireng Lukman Hakim, Senin, 22 Juni 2015.

Masyarakat sekitar pondok atau santri kalong yang ikut khataman kitab, menurut Lukman, bisa mencapai ratusan orang.

“Ada sekitar 200 orang,” katanya. Disebut istilah kalong atau kelelawar besar ibarat kelelawar yang keluar dan kembali ke sarangnya tiap petang. Sama dengan santri kalong yang kembali pulang setelah khataman selesai.

Berbeda dengan santri kilatan (cepat) atau santri pendatang dari pondok lain. “Mereka biasanya menginap di pondok tempat khataman atau rumah warga selama Ramadan atau sampai khataman selesai,” ujar Lukman. Tahun ini jumlah santri kilatan yang mengikuti khataman kitab di Tebuireng mencapai 30 orang.

Salah satu santri kilatan asal Magetan, Haris, mengatakan hampir tiap tahun ia mengikuti khataman kitab di sejumlah pondok di Jombang.

“Ramadan ini jadi kesempatan menambah ilmu sebab khataman yang cepat dan efektif hanya ada selama Ramadan,” katanya. Haris dan sejumlah santri pendatang menginap di pondok Tebuireng hingga khataman selesai. Selain di Tebuireng, mereka juga berburu khataman kitab di pondok lain yang ada di Jombang.

Selain itu, ia juga mencari kitab-kitab yang belum pernah dipelajari dan dikhatamkan pada Ramadan. “Dengan begitu, ilmu kita semakin bertambah dan berwawasan luas,” katanya.

Di Tebuireng tahun ini ada 27 kitab yang dikhatamkan sejak tanggal 1 hingga 17 Ramadan. puluhan kitab itu beragam mulai yang berbobot materi ringan hingga berat. Kitab-kitab tersebut berisi ajaran tauhid, akhlak atau budi pekerti, fiqih atau tata cara ibadah, tasawuf atau filsafat, dan tafsir hadits dan Al Qur’an. Khataman dilakukan usai salat lima waktu dan tarawih kecuali salat magrib. Khataman tidak dilakukan sampai akhir Ramadan karena santri diberi kesempatan untuk pulang kampung dan berlebaran.

ISHOMUDDIN