Kisah Miris Pengungsi Syiah Sampang Sambut Ramadan

Personel Brimob mengawal sejumlah perempuan dan anak-anak warga Syiah, ketika berlangsungnya evakuasi dari tempat persembunyian mereka, di Desa Karanggayam dan Desa Bluuran, Sampang, Jatim, Senin (27/8). ANTARA/Saiful Bahri
Personel Brimob mengawal sejumlah perempuan dan anak-anak warga Syiah, ketika berlangsungnya evakuasi dari tempat persembunyian mereka, di Desa Karanggayam dan Desa Bluuran, Sampang, Jatim, Senin (27/8). ANTARA/Saiful Bahri

TEMPO.CO, Sidoarjo - Rumah susun berlantai lima di Puspo Agra, Sidoarjo, Jawa Timur, pagi itu tampak sepi. Puluhan sepeda ontel dan sepeda motor terparkir rapi di halaman depan. Sepintas hanya terlihat dua-tiga bocah berlarian.

Keadaan sama terlihat di bagian dalam. Kamar-kamar di setiap lantai pada umumnya tertutup rapat. Hanya belasan dari puluhan kamar yang terbuka. Sesekali terlihat satu dua perempuan keluar, menyapu di depan kamar.

“Ya kayak gini keadaannya kalau puasa,” kata Muhammad Zeini, 24 tahun, saat menemani Tempo berkunjung ke tempat pengungsi Syiah Sampang, Jumat, 19 Juni 2015. Zeini tak lain adalah satu dari ratusan pengungsi.

Didampingi Tajul Muluk, pemimpin Syiah Sampang yang baru dua hari ini berada di tempat pengungsian, Zeini mengatakan tak ada kegiatan khusus dalam menyambut bulan suci Ramadan tahun ini. “Seperti biasanya saja.”

Zeini mencontohkan kegiatan Ramadan yang biasa dilakukan adalah salat berjemaah, tarawih, dan tadarus. “Kalau yang tua solat di rusun. Tapi kalau perempuan muda dan laki-laki solat berjamaah di masjid,” kata dia.

Tak jauh dari rusun, sekitar 50 meter, berdiri sebuah masjid. Selama ini pengungsi memanfaatkan masjid tersebut untuk beribadah. “Kami salat berjamaah bareng dengan warga,” kata pemuda yang mengaku tengah menyelesaikan kuliah di Malang ini.

Tak lama kemudian, saat matahari semakin meninggi, satu per per satu kamar terbuka. Ratusan pengungsi mulai keluar beraktivitas. Perempuan sibuk menjemur pakaian. Para suami dan pemuda lajang berkumpul bersama di lantai dasar sembari melihat bocah-bocah bermain.

Di rusun ini tercatat ada 315 jiwa dari 74 keluarga. Mereka termasuk anak-anak pengungsi yang belajar atau nyantri di pesantren di Jepara, Jawa Tengah, dan Bangil, Pasuruan. “Saat ini anak-anak pada pulang semua,” kata dia.

Memasuki bulan suci Ramadan, pengungsi mengeluhkan besaran jaminan hidup (jadup) bulanan dari pemerintah sebesar Rp 709.000 per jiwa. “Semua kebutuhan pokok naik semua saat puasa dan jelang Lebaran.”

Untuk sehari-hari pengungsi merasa uang itu belum cukup untuk hidup layak. Demi menambah penghasilan, sebagian pengungsi bekerja mengupas kulit kelapa di pasar terdekat. Penghasilan pun tak menentu, maksimal Rp 50 ribu.

Sampai hari kedua Ramadan, di luar bantuan uang jaminan hidup, tak ada bantuan dari pemerintah ataupun dari warga sekitar untuk pengungsi. “Takjil pun nggak ada,” keluh Zeini.

Tajul Muluk, yang awalnya hanya mendengarkan obrolan kami, akhirnya angkat bicara. Dia mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam menyelesaikan kasus Sampang. Tajul memberikan contoh keseriusan pemerintah dalam memperlakukan pengungsi Rohingnya. “Pemerintah saja bisa memenuhi kebutuhan pengungsi dari luar, tapi bagaimana dengan kami (pengungsi Syiah Sampang),” kata Tajul.

Karena itu Tajul berharap kepada pemerintahan Presiden Jokowi agar segera memulangkan pengungsi Syiah ke kampung halamannya masing-masing. “Di sini memang aman, tapi di sini bukan tanah kelahiran kami," kata Tajul.

Tajul juga meminta kepada pemerintah agar benar-benar menegakkan hukum. “Tanpa pandang bulu. Setiap warga negara berhak hidup termasuk di kampung asalnya,” terangnya.

Pengungsi Syiah Sampang sudah sejak dua tahun ini berada di Rusun Puspa Agro, terhitung per 20 Juni 2013. Sebelumnya mereka tinggal di GOR Sampang selama sembilan bulan. Bila mereka tidak dipulangkan, Lebaran tahun ini menjadi Lebaran ketiga yang pengungsi Syiah Sampang rayakan di Rusun Puspa Agro.

NUR HADI