Polisi Dilarang Segel Rumah Ibadah Ahmadiyah dan Syiah  

Rumah dan masjid jemaah Ahmadiyah yang dirusak gerombolan tak dikenal di kawasan Cipasung, Singaparna, Tasikmalaya, Jawa Barat, (5/5). Ratusan massa tak dikenal merusak dan membakar mimbar masjid serta rumah pada Minggu dini hari. TEMPO/Prima Mulia
Rumah dan masjid jemaah Ahmadiyah yang dirusak gerombolan tak dikenal di kawasan Cipasung, Singaparna, Tasikmalaya, Jawa Barat, (5/5). Ratusan massa tak dikenal merusak dan membakar mimbar masjid serta rumah pada Minggu dini hari. TEMPO/Prima Mulia

TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Polda Jawa Barat Inspektur Jenderal Moechgiyarto membenarkan, salah satu potensi kerawanan saat Ramadan adalah ancaman penyegelan tempat ibadah milik jemaah Ahmadiyah dan Syiah. “Itu menjadi suatu atensi bagi kita,” kata dia selepas bertemu dengan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan di Gedung Sate, Bandung, 19 Juni 2015.

Moechgiyarto mengaku, sudah memerintahkan jajarannya untuk tidak melakukan penyegelan tempat ibadah. “Saya sudah perintahkan jajaran saya, tidak ada lagi kegiatan-kegiatan penyegelan tempat ibadah, itu bukan kewenangan pihak kepolisian,” kata dia.

Menurut Mochgiyarto, sengketa menyangkut tempat ibadah menjadi urusan pemerintah daerah. “Kita akan membantu untuk itu, proses itu ndak akan terjadi lagi sepanjang dikomunikasikan dengan baik,” kata dia.

Dia mencontohkan keributan akibat protes kegiatan ibadah. “Umpamanya ada kegiatan ibadah, ada ribut. Kalau ribut karena ada sengketa harus jelas, kalau yang disengketakan itu benar ada proses penyegelannya melalui pemda. Bukan polisi sendiri langsung bertindak, saya melarang itu,” kata Mochgiyarto.

Mochgiyarto mengaku sengaja menyambangi ruang kerja Gubernur Ahmad Heryawan di pekan pertamanya mulai bertugas di Jawa Barat. “Sebagai pejabat baru, kalau orang Jawa bilang ‘kulowunuwun’,” kata dia.

Gubernur Ahmad Heryawan menjelaskan, salah satu materi yang dibahas adalah soal kemungkinan membentuk tim bersama untuk meneliti rantai distribusi bahan makanan di Jawa Barat. “Saya ngobrol tadi dengan Kapolda, kita bikin tim bersama untuk meneliti, menelusuri pola dan mata rantai distribusi supaya petani relatif dibeli lebih mahal, dan para konsumen membeli lebih murah,” kata dia di Bandung, Jumat, 19 Juni 2015.

Aher, sapaan Ahmad Heryawan, mencontohkan, harga cabai merah di tangan petani yang menanam tiga bulan hanya Rp 15 ribu per kilogram, sementara harga ecerannya di pasar tradisional bisa tembus tiga kali lipatnya, Rp 45 ribu sampai Rp 50 ribu per kilogram. “Si petani nanam 3 bulan, dari petani dibeli sampai ke pasar beberapa jam, kok naiknya bisa Rp 35 ribu? Jangan-jangan distribusi kita ada masalah,” kata dia.

Menurut Aher, saat ini harga bahan makanan mulai naik memasuki Ramadan. Dia mengklaim stok aman. “Ini dampak psikologi puasa, atau ada hambatan distribusi yang perlu kita tata dengan baik? Karena urusan harga itu tidak semata-mata urusan supply and demand, bisa jadi supply aman, demand biasa, tapi harga tetap naik,” katanya.

AHMAD FIKRI