Ramadan, Pengungsi Rohingya Rindu Sanak Saudara

Editor

Grace gandhi

Pengungsi Rohingya di Makassar menceritakan penderitaan mereka di negara asalnya, Myanmar. TEMPO/Muhammad Yunus
Pengungsi Rohingya di Makassar menceritakan penderitaan mereka di negara asalnya, Myanmar. TEMPO/Muhammad Yunus

TEMPO.CO , Jakarta: Ramadan merupakan bulan penuh berkah dan momen berkumpul bagi umat muslim, khususnya sesama keluarga. Tak heran, banyak umat muslim di negara ini mudik saat hari pertama puasa maupun Lebaran. Tujuannya, berkumpul bersama sanak saudara atau ziarah kubur. Ironisnya, hal itu tak dapat dirasakan para pengungsi Rohingya yang terasing jauh dari tanah kelahirannya.

Salah seorang pengungsi Rohingya di Makassar, Nur Islam (48), mengaku selalu rindu dengan sanak saudaranya, terutama memasuki Ramadan. Tapi kerinduannya itu hanya dapat dipendam. Musababnya, tak mungkin dia kembali ke Myanmar yang sama sekali tidak mengakuinya sebagai warga negara. Bahkan, pihaknya mendapat perlakuan diskriminatif di sana.

"Kami tentu lebih memilih tinggal di Indonesia karena aman. Kami juga bisa menjalankan ibadah lebih khusyuk di sini. Tapi memang selalu ada kerinduan dengan keluarga di sana atau pun yang pergi ke tempat (negara) lain," kata Nur, saat ditemui di salah satu tempat penampungan pengungsi Rohingya di Pondok Merah, Jalan AP Pettarani III Lorong Masale, Makassar, Kamis, 18 Juni 2015.

Nur sendiri meninggalkan tanah kelahirannya di Myanmar sejak 1990. Ia merantau ke Malaysia dan membuka usaha rumah kontrakan. Lalu, Nur masuk ke Indonesia, tepatnya di Aceh pada 2000. Di bumi Serambi Mekkah itu, ia menemukan jodoh, yakni Baini (35), warga Aceh.

Bapak lima anak itu akhirnya masuk ke Makassar pada 2013 dengan membawa istri dan anak-anaknya. Selama di Kota Daeng, dia mengaku telah dua kali merayakan Ramadan. Keluarganya cukup bahagia tinggal di Makassar. Selama Ramadan, ia pun mengaku kerap keliling masjid untuk Salat Tarawih.

Khusus di Makassar, pengungsi Rohingya di tempatkan di sejumlah tempat penampungan oleh Kantor Imigrasi Makassar. Selain di Pondok Merah, juga ada pengungsi dari etnis minoritas di Myanmar itu yang tinggal di Wisma Budi, Jalan Harimau, Makassar.

"Totalnya, ada sekitar 200 orang seperti kami di Makassar," ujar pengungsi Rohingya lainnya, Muh Thoyib (45).

Selama di Makassar, Thoyib mengatakan pihaknya merasa senang karena mendapatkan sambutan yang baik dari masyarakat maupun pemerintah. Kendati demikian, dia mengaku terus menyimpan asa agar segera diberangkatkan ke negara ketiga yang menjadi tujuannya, seperti Australia. Itu agar anak-anaknya kelak mendapat kehidupan yang jauh lebih baik.

TRI YARI KURNIAWAN