Di Makassar, Pengungsi Rohingya Khusyuk Berpuasa

Sejumlah pengungsi Rohingya mandi di kamp Mee Tike, Myanmar, 4 Juni 2015. Mereka terapung di laut selama dua bulan, sebelum perahu mereka ditemukan di perairan Andaman. REUTERS/Soe Zeya Tun
Sejumlah pengungsi Rohingya mandi di kamp Mee Tike, Myanmar, 4 Juni 2015. Mereka terapung di laut selama dua bulan, sebelum perahu mereka ditemukan di perairan Andaman. REUTERS/Soe Zeya Tun

TEMPO.CO, Makassar - Sekitar 200 pengungsi Rohingya di Makassar bisa menjalankan ibadah Ramadan dengan tenang. Mereka bersyukur dapat menunaikan puasa dan ibadah lain selama Ramadan tanpa ada intimidasi seperti yang didapat di negara asal mereka, Myanmar.

Mereka mengungkapkan suka-duka berpuasa di Kota Daeng, yang jauh dari tanah kelahiran mereka. "Alhamdulillah, saya bersyukur karena di sini aman. Kami diterima dengan baik oleh masyarakat dan pemerintah," kata Nur Islam, 48 tahun, seorang pengungsi Rohingya, saat ditemui di tempat penampungan, Pondok Merah, Jalan A.P. Pettarani III Lorong Masale, Makassar, Kamis, 18 Juni 2015. 

"Kami di sini lebih khusyuk beribadah," ucap Nur. Ia mengenang kota asalnya, Arkan. Di sana, umat muslim tidak bisa merayakan bulan penuh berkah itu. Musababnya, mereka berada di bawah bayang-bayang ancaman kekerasan dari tentara Myanmar. Terkadang mereka harus sembunyi-sembunyi untuk melaksanakan kewajiban dalam Ramadan, seperti sahur.

Di Arkan, Nur menyebutkan, sama sekali tidak ada aliran listrik. Ketika hendak sahur, dia dan warga muslim lainnya menggunakan lilin sebagai penerangan. Namun mereka tetap harus waspada terhadap tentara Myanmar yang melakukan patroli. Tentara Myanmar, kata Nur, sering memukul warga muslim. 

Sejak 1980-an, Nur mengatakan, umat muslim di kampungnya terus diintimidasi bila ingin merayakan hari besar keagamaan. Bahkan, pada 1998, dia mendapat kabar bahwa warga dilarang berkurban dan merayakan Idul Adha.

Nur bercerita, ia meninggalkan tanah kelahirannya pada 1990. Ia merantau ke Malaysia dan membuka usaha rumah kontrakan. Lalu Nur masuk ke Indonesia, tepatnya di Aceh, pada 2000. Di Bumi Serambi Mekah itu, ia menemukan jodoh warga Aceh, Baini, 35 tahun.

Bapak lima anak itu akhirnya masuk ke Makassar pada 2013 dengan membawa seluruh keluarganya. Selama di Kota Daeng, dia telah dua kali merayakan Ramadan. Keluarganya pun cukup bahagia tinggal di Makassar. Selama Ramadan, ia kerap berkeliling dari masjid ke masjid untuk melakukan salat tarawih.

Kendati mengaku senang tinggal di Makassar, Nur menegaskan, dia selalu merasakan kerinduan kepada sanak keluarganya setiap kali Ramadan tiba. Seperti anggota masyarakat lain, khususnya di Makassar, ia juga ingin berkumpul dengan orang tua serta saudara-saudaranya.

Pengakuan serupa disampaikan Abdul Gani, 24 tahun, yang mengaku sangat ingin bertemu dengan kerabatnya. Tapi, apa daya, dia tak mungkin kembali ke tanah kelahirannya. Sejak merantau pada 2006, Gani tidak tahu lagi kabar sanak saudaranya di Myanmar. 

TRI YARI KURNIAWAN