Mempertahankan Seni Kaligrafi Lewat Sanggar

Editor

Zed abidien

TEMPO/Aris Andrianto
TEMPO/Aris Andrianto

TEMPO.CO, Padang - Papan-papan berlukiskan huruf Arab terlihat berjajar di ruangan berukuran 2 x 4 meter itu. Berbagai seni tulisan kaligrafi yang menggambarkan ayat-ayat Al Quran terpajang di Sanggar kaligrafi Al Jauhar STAIN Batusangkar, Sumatera Barat.

Sanggar kaligrafi ini dikelola mahasiswa. Bagian dari unit kegiatan kampus Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Batusangkar yang terletak di lantai lima Gedung Studen Centre. "Kaligrafi itu sulit. Jika tak serius, tak akan bisa mempelajarinya," kata Ketua Sanggar kaligrafi Al Jauhar, Mu'ammar Aziz.

Al Jauhar itu artinya intan. Indah dipandang, tapi tak semua orang bisa memiliki. Begitu juga dengan kaligrafi. Tak semua orang bisa memiliki keahlian kaligrafi. Perlu konsentrasi, ketekunan dan kerja keras untuk menekuni seni ini.

Keahlian dalam merangkai tulisan-tulisan Arab membutuhkan kesabaran. Misalnya, kata Aziz, saat menulis satu huruf dengan menggunakan kalam (alat tulisnya), butuh tiga kali goresan. tak bisa langsung seperti menulis dengan spidol.

Menulis kaligrafi ada rumusnya. Misalnya jenis tulisan tsulus yang memiliki pola lentur. Saat menulis huruf alif harus tujuh goresan. Makanya, menurut Mu'amar, butuh waktu satu hingga dua tahun untuk menjadi kaligrafer. Aziz yang saat ini kuliah di semester 6 sudah mempelajarinya selama setahun. Namun, ia mengaku belum mahir dalam melukis karya kaligrafi.

Bagi Aziz, belajar kaligrafi merupakan modal setelah tamat kuliah. Dengan kaligrafi, orang bisa hidup. "Dengan adanya soft skill ini kita tak berharap menjadi PNS. Dengan ijazah saja tak ada gunanya jika tak ada keahlian. Kaligrafi menjadi salah satu modal untuk ke depan," ujarnya.

Aziz merasakan sulitnya kaderisasi di sanggar kaligrafi. Dari 100 orang yang mendaftar di sanggar, yang bertahan itu hanya 5 hingga 10 orang. Mereka ini terseleksi secara alamiah, saat melewati proses latihan yang makin lama makin rumit. Apalagi, kata Aziz, belajar kaligrafi harus memiliki uang. Sebab, alat-alatnya cukup mahal. Seperti pena kaligrafi itu satu set mencapai ratusan ribu rupiah.

Namun, sanggar memiliki strategi untuk menarik mahasiswa. Di antaranya, iuran masuk hanya dipatok Rp 100 ribu. Mereka sudah mendapatkan kalam, rol, tinta, spidol dan buku panduan. "Kalau ditempat lain, iuran anggotanya mencapai Rp 300 ribu per enam bulan," ujarnya.

Lalu, sanggar membuat pelatihan reguler dua kali seminggu. Setiap hari Rabu dan Sabtu. Sebab, untuk menjadi kaligrafer profesional itu harus sering latihan.

Pelatih Sanggar kaligrafi Al Jauhar, Yuni Alfat, 28 tahun mengatakan, semua orang bisa mempelajari kaligrafi. Namun, tak semuanya bisa menjadi kaligrafer. "Harus ada niat dan keinginan besar dari hati. Meskipun tak memiliki jiwa seni," ujarnya, Selasa 16 Juni 2015.

Baginya, ada empat syarat untuk menjadi kaligrafer. Di antaranya, latihan, ada guru, amal ibadah dan materi atau uang. Untuk menghasilkan karya yang bagus, kata harus sering latihan dan ada guru pembimbing. Lalu, kaligrafer harus menjaga amal ibadahnya. Sebab yang dipelajari itu ayat-ayaat Al Quraan. "Latihan, latihan dan latihan. Itu modalnya. Lalu, materi atau uang tak bisa dihindarkan. Karena kita butuh tinta, buku dan pena," ujarnya.

Makanya, kata Yuni, dibutuhkan keseriusan dalam belajar kaligrafi. Sebab, semakin lama, tingkat pelajarannya semakin sulit. Bagi Yuni,  khat itu font Arab memiliki kaidah dan aturan khusus. Misalnya, dalam tulisan tsulus, yang memiliki karakter sendiri. Seperti harus memiliki tujuh titik goresan dan lekukan serta ketebalannya.

ANDRI EL FARUQI