Bagaimana Sah atau Tidaknya Salat Seorang Waria?

Editor

Kurniawan

Sejumlah waria melakukan salat Magrib jamaah di Pesantren Waria, Al Fatah di Kotagede Yogyakarta, 2 Juli 2014. Waria yang merasa dirinya wanita, mengenakan mukena dan waria yang merasa dirinya lekaki mengenakan sarung dan peci. Tempo/Anang Zakaria
Sejumlah waria melakukan salat Magrib jamaah di Pesantren Waria, Al Fatah di Kotagede Yogyakarta, 2 Juli 2014. Waria yang merasa dirinya wanita, mengenakan mukena dan waria yang merasa dirinya lekaki mengenakan sarung dan peci. Tempo/Anang Zakaria

TEMPO.COYogyakarta - Pondok Pesantren Waria Al-Fatah Yogyakarta menggelar diskusi terbuka untuk memperingati Isra Mikraj Nabi Muhammad SAW pada pertengahan Mei 2015 lalu. Diskusi itu mengkaji sah atau tidak salat seorang waria melalui pembicara agamawan, akademikus, dan peneliti.

Ketua Pondok Pesantren Sinta Ratri mengatakan ada 40 waria yang menjadi santri di Al-Fatah. Selama ini waria bebas menjadi laki-laki atau perempuan saat salat. Delapan orang memilih memakai mukena dan sisanya memakai sarung. "Terserah nyamannya pakai apa, karena dari nyaman itu ibadah bisa khusyuk," katanya saat membuka diskusi.

Diskusi itu berlangsung sederhana di rumah Sinta. Para pembicara duduk di lantai beranda rumah dan peserta duduk lesehan di halaman. Di rumah inilah, pesantren berkantor dan menjalankan aktivitasnya pada 2014. Pesantren Waria Al-Fatah sebenarnya berdiri pada 2008 di Notoyudan, Yogyakarta.

Pengasuh Pesantren Nurul Ummahat Kotagede, Kiai Abdul Muhaimin, mengatakan sah atau tidaknya salat seorang waria tak cukup dinilai dari sisi syarat formal. Misalnya, perdebatan tentang jenis kelamin. "Kalau dari fikih saja kayaknya tidak akan pernah ketemu," katanya.

Menurut dia, Isra Mikraj Nabi Muhammad bisa menjadi contoh bahwa ibadah tak sekadar urusan fisik. "Kalau sudah Allahu Akbar, mestinya menebarkan damai," katanya. "Bukan malah mengamuk lempar-lempar batu."

Direktur Pusat Studi Wanita Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Alimatul Qibtiyah mengatakan perdebatan tentang sah dan tidaknya salat waria terjadi di seluruh dunia. Menurut dia, keberadaan waria juga sudah ada sejak masa Nabi. "Tapi Nabi tak pernah mencambuk atau menghukum mereka," ucapnya.

Sedangkan Nur Kholis Hauqola, pengajar Hukum dan Syariah Universitas Islam Nahdlatul Ulama Jepara, Jawa Tengah, mengatakan hukum Islam mengakui keberadaan waria. Namun dalam kebanyakan kitab fikih klasik, waria masuk kategori khuntsa (hermafrodit)-berkelamin ganda. Kategori ini tak tepat untuk mendefinisikan waria. Kholis juga merupakan pendamping aktivitas keagamaan waria di pesantren Al-Fatah pada 2008.

Menurut Kholis, waria lebih tepat dikategorikan sebagai mukhannats (transgender). "Ada kekosongan hukum (dalam perkara waria)," ujarnya.

ANANG ZAKARIA